Kupanggil Dia Robbi
Kembang-kembang itu mulai menguncup kembali
Senja-senja tadi memburai bertambah kelam
“Sendirian,Mbak?” tanya seorang ibu yang berpas-pasan denganku di persimpangan jalan.
Aku yang kemarin tersungkur perih
Mulai lupa apa-apa
Namun kini aku tersungkur lebih payah
“Kok nglamun,Mbak? Ora elok.”
Aku hanya tersenyum pada sosok layu di hadapanku, Bu Darsi, yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Matanya yang sendu tepat menatap kedua mataku yang mungkin sekarang tampak kosong dan tanpa harapan. Guratan-guratan keriput di wajahnya tampak jelas seperti menantang semangat muda siapa saja.
Kepalaku menengok sekeliling. Jalanan tampak lengang dan kini kusadar hanya ada aku dan orang tua itu. Dia membalas senyumku. Tampaknya udara kering di luar tak menjadikan hatinya kering pula.
“Kalau jalan hati-hati,Mbak. Jangan sampai hampir nabrak orang lewat lagi.”
Aku tertegun mendengar saran kuli bangunan anggun itu. Mataku mulai menyusuri urat-urat tangannya yang menonjol kehijau-hijauan. Rok coklatnya yang kusut meliuk pelan disambut angin sore. Akhirnya pandanganku beradu dengan jarak kedua kakiku dengan ibu yang baru saja ditinggal mati anak laki-lakinya itu. Tak ada sejengkal rupanya.
Kusipitkan mata dan tanpa rasa menyesal aku menatap Bu Darsi sekali lagi.
“Maaf.”
Tubuhku bergerak sedikit demi sedikit dan lewat begitu saja di samping raga yang tetap terdiam. Kupaksa kaki terus berjalan sampai akhirnya kupalingkan pandanganku ke belakang dan aku tak dapat melihat sosok perkasa tadi.
Alas kakiku menyusuri jalanan berbatu. Berkali-kali langkah cepatku menimbulkan debu-bebu berterbangan di sekitar kakiku dan di sekeliling jejak sejarah yang kutinggal di belakang. Pasir-pasir kering dan kerikil-kerikil nakal sedikit demi sedikit masuk ke dalam sepatuku yang longgar dan sekali lagi aku tak peduli.
Orang-orang berlalu-lalang seakan-akan mereka saja yang memiliki masalah. Begitu pula aku. Seperti biasa, aku tak ingin angkat bicara jika sedang dilanda tumpukan kotoran masalah. Air mata serasa ingin mengucur sederas-derasnya, tapi terpaksa kutahan. Pundakku serasa ingin mengistirahatkan diri, tapi terpaksa kutegakkan setegak-tegaknya. Dunia serasa ingin kutelan agar tak melukai siapa pun, tapi mulutku tak cukup lebar tuk berkata apa-apa.
Hari belum terlalu sore. Namun, matahari terlihat malu-malu menunjukkan kejantanannya di antara mega mendung yang mulai berarak dari arah barat. Sekali… dua kali angin bermain-main dengan kerudung merah marunku. Tak jera-jeranya mereka hampir mengangkat pelindung mahkota kepalaku.
Terhenti langkahku di pinggiran jalan raya Majapahit. Kuacungkan jempol kananku ke depan. Seketika angkutan umum warna jingga berhenti tepat di depanku. Tak ada penumpang satu pun. Bapak supir tersenyum padaku dengan raut ramah yang ia bisa usahakan di balik kelelahannya mengejar setoran. Kaki kananku naik dulu di atas mobil reyot berplat H itu. Kursi-kursinya sudah ada yang rusak, kulit pelindungnya sudah ada yang robek dan busa-busa hijau berjejalan keluar dari lubang sebesar biji salak itu.
Si roda empat membawaku berkendara sampai Milo. Aku berganti angkutan umum jurusan Banyumanik. Tak susah mencarinya di sini. Kau tak akan kehilangan barisan orange bersupir itu dalam satu kedipan.
Aku masuk angkutan yang ada di barisan paling belakang. Rupanya sudah ada dua penumpang yang menunggu. Satu bapak berwajah polos agak tirus dan seorang anak laki gemuk bermata bulat bening.
Kupandangi bapak itu. Mulai dari rambutnya yang agak beruban, matanya yang memandang lurus ke depan, kedua tangannya yang dikepal menjadi satu tampak mengapit sebuah kantong plastik hitam kecil lusuh, sampai mataku tertuju pada kedua kakinya yang diketuk-ketuk bergantian seperti ada irama syahdu tak terdengar mengiringnya.
Aku ingin berlaku adil. Maka sekarang aku melirik anak laki gemuk yang duduk di depanku. Ia biasa saja dan tampak santai dengan kaos oblong dan celana kolornya. Namun tingkahnya menimbulkan pertanyaan. Mata bulatnya dari tadi berkeliling seperti mencari anak kambing yang hilang, belum lagi ditambah raut mukanya cemas seakan-akan ia sedang diintai dari jauh. Aku bertambah kaget ketika ia tiba-tiba tertawa sendiri sesaat setelah melirik jendela di belakangku. Kejadian itu terasa ganjil setelah sekian detik ia bercemas diri seperti anak hilang. Entah ada apa di luar sana. Mungkin ada sesuatu yang lucu baginya. Atau mungkin anak kambingnya sudah ketemu?
Tak henti-hentinya aku mengamati anak berkaos garis-garis sedikit robek di bagian kerah itu. Ia lagi-lagi mengamati keadaan di luar jendela yang ada di belakangku. Kadang-kadang terkikik geli, kadang-kadang menyembunyikan wajahnya dengan tangan. Aku mulai tergelitik untuk menoleh ke belakang dan mencari tahu apa yang sedang ia tertawakan dan ia takutkan. Hm… tidak ada apa-apa rupanya. Sejauh mataku memandang, hanya ada segerombolan supir dan pedagang yang sibuk berbincang. Lalu apa yang ada dalam pikirannya sekarang?
“Sedang tertawa dengan siapa?” tanyaku seramah mungkin.
Sepertinya pertanyaanku menimbulkan reaksi luar biasa, nyatanya bapak pendiam yang duduk di samping anak aneh itu tiba-tiba memandangku lalu memandang anak yang duduk di sebelahnya.
Ia hanya terkikik geli merespon pertanyaanku, “Hihihihi…”
Anak itu benar-benar sakit jiwa tampaknya.
“Kamu sendirian?” tanyaku sekali lagi. Aku tak akan berhenti bertanya sebelum dia mau angkat bicara.
Sejenak tak ada jawaban. Si bapak yang semula antusias sekarang kembali terdiam dan melamun.
“Iya. Aku sendiri,” jawab anak itu dengan suara seraknya yang khas.
Aku tersenyum simpul dan tak henti-hentinya mengamati anak itu dengan tatapan mengiba.
“Kamu mau pergi kemana,Adik Kecil?”
“Pulang.”
“Sendirian? Kamu tidak takut?”
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu mengetuk-ngetukkan kepalanya ke jendela di belakangnya.
“Mbak, aku minta uangnya.”
Aku tersentak dan berganti pandangan menjadi sinis.
“Minta uang untuk apa?”
Nada suaraku sekarang agak keras dan otakku diliputi pikiran-pikiran negatif.
“Buat pulang. Aku tidak punya uang.”
“Nanti angkotnya aku bayarin aja, ya,” kataku sambil tersenyum sok ramah.
Anak itu kembali tertawa dan berlagak aneh. Tak sadarkah ia bahwa tingkahnya membuatku bertanya siapakah dia sebenarnya.
Angkutan umum yang dari tadi kunaiki mulai memutar rodanya. Pak supir melambaikan tangannya dan dibalas lambaian tangan pula oleh kawannya di luar sana.
“Mbak, apakah kamu masih punya uang jika kamu memberiku uang?”
Aku mennganggukkan kepala.
“Terima kasih, Mbak.”
Suasana hening sejenak. Anak itu bernyanyi sendiri sambil (lagi-lagi) tertawa sendiri.
“Kamu sekolah?”
“Iya,Mbak.”
“Cita-citamu apa?”
“Aku harap, suatu saat nanti aku bisa jadi polisi. Akan aku tangkap para penjahat dan akan aku lindungi orang-orang yang tidak bersalah.”
Aku tertawa senang mendengar penjelasan singkatnya. Ia tak seburuk yang aku bayangkan. Ups… aku pikir ia akan berhenti bicara. Ia justru terus bercerita tentang keinginannya menjadi polisi yang baik.
Aku merasa perih memandang anak itu. Matanya seperti menyimpan kepedihan dan ketegaran kala ia bercerita. Namun aku menyukainya, sebab senyumannya lepas dan seperti tanpa beban.
“Mbak, akan kutunjukkan kamu sesuatu.” Katanya sambil berbisik
Ia melirik bapak yang ada di sampingnya lalu perlahan-lahan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Tampaknya sebuah amplop putih yang bertuliskan
Mohon kasihani kami untuk makan sehari-hari.
Kami anak yatim piatu.
Terima kasih
Ia tak henti-hentinya membuatku terkejut. Aku sadar bahwa amplop yang baru saja ia tunjukkan adalah amplop yang biasanya para pengemis cilik sodorkan kepada para penumpang bus. Aku tak yakin seratus persen apakah anak ini adalah seorang pengemis. Akan tetapi, apa maksudnya menunjukkan amplop itu padaku?
Aku memandangi anak itu. Ia tersenyum ramah padaku. Namun aku masih saja ternganga tak percaya.
“Siapa namamu, Dik?”
“Robbi.”
Jawaban singkat itu dibarengi diinjaknya rem angkutan umum. Pertama bapak tua itu turun dari angkutan umum kemudian disusul Robbi.
“Tunggu,Robbi. Ini janjiku padamu.”
Ku sodorkan rupiah sejumlah dua ribu pada anak hitam itu sebelum ia benar-benar meninggalkan angkutan umum.
Ia mengambil uang yang telah kuberikan tadi sambil berkata, “terima kasih. Kamu baik sekali. Sebenarnya… sudah ada yang membayariku.”
Ia berjalan setengah berlari di belakang bapak tua itu. Tak henti-hentinya aku menatap kepergiannya. Kulihat ia menatapku dengan raut muka yang mengisyaratkan ‘tolong bawa aku lari’.
Angkutan umum terus melaju. Peristiwa tadi serasa memberi pukulan telak padaku. Robbi yang tak seberuntung aku masih bisa tersenyum, sedangkan aku seperti tak mensyukuri keadaanku sekarang ini.
Sedikit teguran di kala hari sunyi
Membangunkanku tuk kembali
By: Arci Plan
