Catatan Mantan Smanda
Mata ini jemu melihat guru kimia yang dari tadi ngomong tanpa henti. Alkena lah… alkuna lah… rantai ini kek… rantai itu kek… kenapa gak sekalian aja aku dirantai terus dimasukkin ke kamar mandi! My God, please keluarin aku dari kungkungan tambahan pelajaran yang menjemukan ini.
“Rhea….” bisik Suny yang duduk tepat di belakangku.
Aku menoleh. Dasar Suny emang agak sinting. Dia hanya nyengir gak penting sambil mamerin sebuah pamphlet warna biru muda.
“Apa?” tanyaku jutek gak ketulungan.
“Ikutan ini yuh…”
“Ah… diem! Emak lagi ngoceh, ntar kita disamperin lagi.”
“Tolong perhatikan!” bentak Bu Mia.
Aku otomatis langsung membenarkan posisi dudukku dan memasang muka tak bersalah. Aduh, mati aku! Kenapa pula Bu Mia mendekat padaku sambil melotot.
“Rhea, tolong bangunin teman sebelahmu,”
“Hm… baik,”
Ampun dah. Pantes aja nona alchemo satu ni marah-marah. Scara,ternyata temen sebelahku tidur. Tidurnya sambil ngiler pula.
“Sis… bangun,” kataku sambil nyikut Siska. Capek... satu sampai tiga sikutan tidak ada respon. Alhasil aku cubit lengannya biar melek sekalian.
“Waduh…………..” teriak Siska kaget.
Teman-teman satu kelas tertawa terbahak-bahak. Saking kerasnya, kelas seakan mau roboh.
“Baiklah, saya lanjutkan pelajaran,” lanjut Bu Mia.
©©
Hidih.. kenapa hari ini gak ada yang normal. Mulai dari guru sampai soib-soibku pun justru bikin keki sendiri. Aku heran deh! Padahal mereka uda tahu kalo aku itu gak suka diganggu pas pelajaran.
“Sis, kamu ntu bikin malu aja! Bisa-bisanya tidur di kelas. Kamu kan udah tahu kalo Bu Mia galak,” ocehku setelah pelajaran kimia usai.
“Yah… lu kan tahu gua gampang bosen. Apalagi siang-siang gini. Ngantuk!” balas Siska sambil menguap.
“Idih… Siskong ngiler,” sahut Suny.
“Eh… kamu juga gak pengertian sama sekali. Aku kan pingen konsen pelajaran,”
“Ampun… Rhea. Aku cuma mau ngajakin kamu dan Siskong buat ikutan lomba mading yang diadain Universitas X,”
“Coba gua lihat pamphletnya,” tukas Siska, “ngapain sih lu?! Cemberut aje. Cepet tua baru tahu rasa.”
“Iya nih. Rhea Si Ratu Matahari,” tambah Suny yang mulai ikut-ikutan menghinaku.
Aku diam saja. Bagiku ejekan dari dua temanku bukan hal baru lagi. Aku juga sudah tahu dari dulu filosofi matahari yang mereka berikan padaku. Bagi mereka, aku ini orang yang gampang panas.
“Oke. Gua terima ajakan ikut lomba mading ini,”
Seketika empat bola mata menatapku ngeri. Penuh tanda tanya dan memelas.
“Kalo kalian masang muka kucing kayag gitu, aku gak bisa nolak lah,”
“Aih… baik bener my sista. Muah…. Muah…” cletuk Suny sambil meluk-meluk pamphlet kayak orang sakit jiwa.
“Gals, kita mau bikin mading yang wujudnya gimana nih?” tanya Siska sok pede.
“Yang biasa-biasa ajalah…”
“Eh…gak bisa gitu Rhea imut. Scara kita itu jadi orang gak boleh biasa-biasa aja. Betul kan,Sis?”
“Yupp. Gua gak suka ma pendapat lu yang ntu tadi, Gan,”
“Oke. Mau kalian yang kayak gmana?”
Kami pun berunding mulai dari tema, rubric, dan tampilan mading. Aku rasa perundingan ini seru banget. Saking serunya, gak krasa udah tiga jam kami lewati hanya untuk berdiskusi saja.
“Oke, keputusan kita kali ini… Tataaaaaaaaaaaaaa… kita akan pake kardus bekas yang nantinya bakal jadi media tempel. Ntar kardus-kardus ntu kita susun seabstrak mungkin biar menimbulkan nuansa unik, antic, dan eksotis,”
Seusai aku bacain kesimpulan, kami tos sebagai wujud bahagia atas kekompakan ini.
©©
Hari demi hari kami manfaatkan sebaik mungkin untuk membuat konten dan desain mading. Aku rasa ini gila banget. Ke sana kemari mencari kardus bekas. Clemongan gara-gara crayon dimana-mana. Bukan cuma tanganku aja yang clemongan, tapi hatiku juga. Hahahaha (lebay dot com).
“Mbak yu cantik… Cah ayu hm… besok ada Techmet lomba mading di Fakultas Y Universitas X. Don’t forget lo ya,” canda Suny pake gaya Ayu Dewi yang super alay.
“Sip dah, mamen… tapi, lu besok bisa ikut kan, Rhe?”
“Insyaallah dah,”
©©
Ketika di Fakultas Y Universitas X, kami sempat sebel. Bisa-bisanya acara Techmet sekaliber mahasiswa pake molor-moloran sgala. Malu gak sih.
Di sini kami registrasi dan mendengarkan sistem serta tata tertib perlombaan. OK! Lumayan buat bekal pas lomba lah. Hm… yang aneh aku apa otakku ya? Dari tadi panitia ngomong panjang lebar, tapi hanya satu info aja yang bisa nempel di otakku: artikel-artikel mading harus dibuat on the spot pake tulisan tangan.
©©
Hari H yang dinantikan tiba. Panitia cuma ngasih waktu lima jam buat nyelesain mading. Setiap peserta kerja cepat dan gesit laksana maling dikejar mertua (????). Well. Akhir yang bahagia. Kami bisa selesai juga dalam waktu lima jam. Pokokonya mading kami yang paling aneh bentuknya, paling gedhe dan nyentrik abis.
Juri mulai menilai. Gak mau ketinggalan, kami pun ikut-ikutak sok menilai.
“Wah… gak bener ni peserta nomer 5,” kataku histeris.
“Why?” tanya Siska.
“Artikelnya diketik, padahal kan gak boleh,”
“Yaudah lah… biar juri aja yang nilai,”
Kami lanjutkan lagi berkeliling dan tak lupa mampir di bazaar buku dekat spot kami. Rasanya optimis menang nih. Bentar lagi pengumuman pemenang dibacain.
Dag… dig… dug… panitia mulai ngecipris di depan. Dibacakanlah satu per satu pemenang tiap-tiap lomba. Dan eng…ing…eng… kami gak menang sama sekali. Parahnya lagi, yang jadi juara tiga itu justru yang artikelnya diketik. Jujur aja aku gak terima. Alhasil aku mengadu ke panitia lomba dan meminta keadilan. Gak sportif banget ini namanya.
“Ini mading kelompok mbak?” tanya seorang pengunjung.
“Iya,” jawabku setengah panas.
“Jadi juara berapa,mbak?”
Tiba-tiba hatiku bertambah panas mendengar pertanyaan itu. “Kami tidak menang,”
“Kok bisa? Padahal bagus lo,”
Siska tak kuasa membendung tangisnya. Akhirnya kami berdua menangis. Meskipun panitia sudah meminta maaf dan menaikkan kami jadi juara tiga B (juara tiga A adalah peserta nomor lima yang artikelnya diketik), tapi bagiku mereka tetaplah gak professional.
©©
Cerita ini bukan untuk menghina pihak mana pun. Sekadar dijadikan refleksi aja buat kita. Kelak kalo kita jadi panitia lomba tau acara sekolah, profesionallah dan yang terpenting “manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan”.
Happy nice day,friends J
