Banyak
orang memutuskan untuk menyayangi seseorang tanpa berpikir panjang
Padahal menyayangi itu tak semudah yang mereka rasa
Menyayangi seseorang itu berarti harus mau menerima konsekuensi untuk kehilangan selama-lamanya
Padahal menyayangi itu tak semudah yang mereka rasa
Menyayangi seseorang itu berarti harus mau menerima konsekuensi untuk kehilangan selama-lamanya
…
Hujan mengiringi keberangkatanku.
Derasnya butiran air yang jatuh menyisakan dentuman keras di atap kereta,
beradu dengan bisingnya mesin yang membawa kereta melaju. Aku bersandar di
punggung kursi dan menatap ke arah jendela. Butir-butir air yang terjatuh di
jendela membentuk aliran indah. Bergumul
tak karuan, tapi menenangkan. Samar-samar aku masih bisa melihat lintasan hijau
bahkan kelabu langit di luar sana.
Aku belum merasa lemas meski hanya
sempat menyantap sepotong roti tawar ketika sahur pagi tadi. Aku harap aku
masih kuat sampai Tangerang. Rasa gugupku mengalahkan segalanya saat ini.
Maklumlah, ini pengalaman pertamaku ke luar kota sendiri tanpa teman sama
sekali.
…
Sering
aku bertanya apakah mereka sempat memikirkan perpisahan yang akan mereka alami
kelak
Siap
atau tidak siap
Menyenangkan
atau secara tidak baik-baik
Melegakan
atau menyisakan beribu pertanyaan
Bagaimana
pun itu, nasib tak akan peduli sesakit apa yang kau rasakan
Ia
juga tak peduli seberapa berartinya seseorang itu untukmu
…
Aku mencoba mengalihkan pandangan.
Tetap pada posisi semula, aku terus mencari objek menarik sejauh mata ini bisa
memandang. Tampaknya tak banyak yang bisa terekam oleh mataku. Hanya sosok
wanita tua renta berbaju batik yang berhasil membuatku tak berpaling. Ia duduk
tepat di depanku. Nenek itu sedang tertidur pulas. Wajahnya mengisyaratkan
kelelahan yang luar biasa. Apakah ia sendirian sepertiku?
Seulas senyum tipis yang tersirat di
wajah manula itu mengingatkanku pada seseorang. Perlahan tapi pasti, perasaan
itu muncul kembali dan memaksaku untuk tenggelam di dalamnya. Tak ada lagi
gugup. Tak ada lagi rasa takut tersesat di perjalanan. Detik ini hanya milikku
dan kenangan itu.
Aku masih ingat betapa galaknya
sosok wanita kepala tiga itu. Rambut ikalnya selalu naik turun tatkala ia memarahiku
karena kesalahan yang aku pun tak mengerti dimana letak kesalahanku. Tiada hari
tanpa omelan. Aku berpikir tingkahku biasa saja. Hanya sebatas keinginan
anak-anak menikmati indahnya masa bebasnya saja, dimana dunia penuh khayalan
tanpa ada sekat sedikit pun. Waktu itu aku selalu ingin mengatakan jangan
ganggu kesenanganku. Aku hanya ingin bebas bermain sampai aku lelah sendiri.
Namun ia selalu berhasil merebut kebebasanku dan membuatku terdiam seketika
tanpa daya. Menyuruhku ini itu padahal ia tahu jika aku tak bisa melakukannya.
Ia tak tahu betapa iri diri ini melihat kawan-kawan bermain di luar. Tertawa
lepas. Sesekali bertengkar lalu berbaikan lagi. Sedangkan aku hanya bisa
menatap di balik jendela kamar.
Aku sendiri heran mengapa aku bisa bertahan
hidup sampai sekarang dengan keadaan seperti itu. Ikat pinggang, kemoceng,
batang sapu, bahkan kursi plastik pernah ia daratkan di tubuhku dan menyisakan
biru lebam menyakitkan. Kami selalu kejar-kejaran bak kucing dan tikus.
…
Ini
bukan sekadar pelajaran
Hati
ada untuk mengerti
…
Baru beberapa hari ini kematiannya
berhasil membuatku menangis. Dulu tak sama sekali. Jangankan menangis, mengerti
arti pertemuan dan perpisahan pun aku tak tahu. Hanya permainan-permainan
menyenangkan saja yang bisa kupikirkan sebelas tahun yang lalu. Menangis untuk
kalah dan tertawa untuk menang. Hanya itu. Tak kurang tak lebih.
Hatiku tercekat dengan kenyataan
ini, kenyataan bahwa ia berarti bagiku, hal yang telah lama tak kusadari. Aku sangat
rapuh untuk mengurai satu per satu makna kebersamaan dengannya. Rasanya sakit
jika mengingat semua yang telah ia berikan. Kenapa ia harus meninggalkanku
sebelas tahun yang lalu, sedangkan aku masih terlalu muda tuk merasakan betapa
dalamnya kasih yang ia berikan tatkala itu.
Jika Allah tak pernah
mempertemukanku dengannya, mungkin sampai saat ini aku tak pernah mengerti arti
minta maaf dan memaafkan. Aku masih ingat dulu ia pernah mogok bicara padaku
karena aku tidak mau menyapu rumah. Aku mencoba berkali-kali mengajaknya
bicara, namun diam yang kudapatkan. Ia pun enggan menoleh padaku. Rasanya aneh.
Saat itu pun ia tak melayangkan satu pukulan sama sekali ke tubuhku. Dengan
cara berpikir yang masih polos, aku menduga bahwa ia sedang sakit.
“Ibu,kenapa kau tak mau bicara
padaku?” tanyaku setengah membentak di balik jendela kamar yang langsung mengarah
ke halaman belakang.
Tak ada jawaban darinya. Ia justru
asyik menyapu.
“Ibu,” rengekku tak berdaya.
“Mengapa kamu tak minta maaf
padaku?”
Ia menatapku galak. Tatapan yang
dari tadi tak ia tampakkan secara tak terduga muncul kembali.
“Maaf,” kataku sambil menangis.
Ia tersenyum simpul. Manis sekali.
Seketika sakit di wajahnya hilang.
Saat itu aku berpikir bahwa aku
harus minta maaf jika aku telah membuat orang lain sakit. Kurasa itu pemikiran
yang bijak untuk anak usia taman kanak-kanak meskipun sebenarnya maaf itu lebih
dari sekadar mengobati sakitnya seseorang.
Ibu selalu mengajariku nilai-nilai kehidupan
di balik sebuah kejadian yang kualami bersamanya. Bahkan ia mengajariku hal
kecil yang tak banyak orang melakukannya.
“Jika kamu melihat paku di jalan,jangan
lupa kamu buang paku itu. Jika tidak, maka akan ada orang lain yang terluka.”
Sampai hal besar pun ia pahamkan
padaku.
“Lebih baik kita miskin daripada
kita kaya dari hasil mencuri.”
Nasihat-nasihatnya masih membekas di
hatiku. Seiring dengan bertambahnya terjalan jalan yang kulalui, aku mulai
paham satu per satu nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu membuatku mencintai
proses pembelajaran dan orang-orang yang memberiku pelajaran walaupun aku akan
mencintainya bertahun-tahun kemudian, setelah semua kupahami.
Ingatan itu deras menghujani hatiku
sederas hujan hari ini. Jauh dari lamunan yang baru saja kutinggalkan, kusadari
ada aliran tipis di pipiku. Masih mengalir, tapi kupaksa untuk berhenti.
…
Perjalanan
masih panjang,
sepanjang
apa yang belum kita ketahui
…
Hujan di luar belum juga reda. Kaca jendela
di samping kananku mulai mengembun. Angin yang menerpa pepohonan di luar sana
mencuri-curi masuk lewat celah-celah jendela. Membuat semua terasa dingin.
Lebih dingin dari menit-menit yang lalu.
“Pasar Senen… Pasar Senen” teriak
seseorang di ujung gerbong. Orang-orang mulai menggeliat berusaha mengumpulkan
barang-barang bawaan mereka. Nenek di hadapanku terkaget-kaget setelah ada
seorang lelaki muda membangunkannya dengan setengah mengguncang bahu si nenek.
Kereta telah kosong. Aku pun segera beranjak dari tempat duduk sambil menenteng
sebuah tas kecil.
Hujan membasahi semuanya. Allah baik
sekali, Ia menyampaiakan perasaanku hingga langit dan bumi pun ikut
merasakannya. Semua seakan-akan mencoba menutupi sisa-sisa tangis yang
kutinggalkan. Membawanya pergi hingga ke tempat yang lebih baik. Lautan cinta.
Aku berjalan setengah berlari
menerjang puluhan orang yang merapat di tepian toko. Sudah tak ada lagi waktu
untuk berteduh meskipun masih ada beberapa warung di pinggiran jalan yang sepi.
Kini aku harus mencari bus yang bisa membawaku pergi menuju kotamu. Kusibakkan
payung yang dari tadi kusimpan rapi dalam tas. Melangkah maju di bawah air mata
langit Jakarta.
Bus yang kunaiki penuh sesak. Untung
saja aku mendapatkan tempat duduk. Pemandangannya masih sama seperti di kereta.
Jendela basah dan liukan air hujan. Aku tak memepedulikan yang lain. Hanya
hujan yang bisa membuatku tenang.
Ini perjalanan besarku. Aku tahu
siapa yang akan kutemui nanti: kau dan istrimu. Pikiranku tak berani
membayangkan hal-hal memilukan apa yang akan kualami nanti. Mengetahui kau
menikah dengan gadis itu sudah cukup membuatku terpukul.
Aku sudah tak memiliki tenaga untuk
menangisi segala sesuatu tentangmu. Kau sama seperti Ibu, terlalu berharga
bagiku. Aku tak bisa membencimu dengan segala keputusanmu. Semua yang ada
padamu adalah pilihanmu, dan aku hanya bisa mendoakanmu.
Lamunanku berkelana lagi. Sayangnya
kisah tentangmulah yang tiba-tiba muncul di pikiranku. Tepat lima tahun yang
lalu, saat semua begitu kelabu bagiku. Kau datang membawa kabar itu.
“Ayah sudah menikah. Dia gadis yang
baik. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Bukan pedih lagi yang kurasa tatkala
kutahu kau telah memilih jalan itu tanpa sepengetahuanku. Aku merasa hancur.
Hancur lebur. Pernyataanmu itu seperti mengisyaratkan bahwa aku adalah
penghalang besarmu menuju kebahagiaan. Namun kau tak tahu,aku selalu menyebut
namamu di dalam sepertiga malamku. Berharap semua bukan kesia-siaan belaka.
“I…iya. Bolehkah aku bicara
dengannya?”
Aku berusaha menganggap semua biasa
saja. Sebisa mungkin menutupi kekecewaanku. Sekuat-kuatnya kumenutupi segala
sesuatu yang bisa meruntuhkan kebahagiaanmu, aku tetap saja tak sanggup menghalangi
linangan air mata yang sudah di pelupuk mata dan siap mengalir.
…
Saat
kau lewat jalan curam,
Kau
hanya bisa berdoa dan tetap berjalan
…
Tak ada kata terlambat bagimu.
Selama aku mau mengenalnya, kau akan mengenalkannya padaku. Beberapa hari
setelah kau memberi angin ribut, kau datang membawa sembilu itu.
“Ayah datang…asik…”teriak adikku
sambil berlari ke teras disusul paman dan bibiku.
Kusegera meletakkan buku yang sedang
kubaca dan mengikuti mereka. Namun langkahku hanya bisa sampai di jendela depan
saja. Kumelihat kau menggandeng seorang perempuan. Ia kurus, tinggi, dan masih
muda sepertiku. Ada rasa kecewa ketika melihat wajah itu meski dari kejauhan.
Aku selalu berharap sosok wanita seperti Ibu yang harusnya kau sanding lagi.
Ini sulit bagiku. Kuputuskan kembali ke kamar sambil terisak sejadi-jadinya.
Merasa telah hancur semua.
Dari kamar aku bisa mendengar
langkah-langkah kaki menuju ruang tamu. Aku masih hafal betul suaramu. Kau
menanyakan keberadaanku. Sesaat hening. Lalu kau memecah keheningan itu.
“Aku tahu dimana.”
Pintu kamarku terbuka. Kau hadir
membawa senyum itu. Senyum yang sama seperti dulu.
“Aku…aku tak mau menemuinya,” kataku
sambil terisak perih.
“Maafkan aku. Aku tahu kau kecewa,
tapi temuilah ia walau satu kali saja,” tuturmu sambil membelai lembut
tanganku. Belaian yang sama seperti dulu.
“Kutunggu di luar,” pintamu sambil
berlalu.
Kumeratapimu tanpa kau sadari. Hanya
bisa memandangi punggungmu hingga tak terlihat lagi.
Kau satu-satunya orang tua yang
masih kupunya. Aku harus membahagiakanmu sesulit apa pun permintaanmu. Kutahan
isakanku sebisanya. Kuhapus air mata dan kulangkahkan kaki ke luar.
“Assalamu’alaikum,” salamku sambil
menampakkan senyum terindah yang bisa kuberi. Tanpa berpikir panjang, kududuk
di samping gadis muda berbaju kuning itu.
Kuulurkan tangan padanya. Ia sempat
menatap mataku, namum hanya sekejap dan tanpa balasan uluran tangan. Aku tetap
mempertahankan uluran tanganku. Namun percuma. Dia tak menyambut baik niatku.
“Aku minta maaf atas sambutanku yang
kurang menyenangkan,” kataku seramah mungkin. Masih mengulurkan tangan.
Ia menegakkan tubuh dan mengacungkan
telunjuknya tepat di mukaku. “Kau harusnya mengerti aku!” dia membentakku
dengan penekanan-penekanan di setiap kata-katanya, “Aku yang masih perawan rela
menikah dengan ayahmu yang duda!”
Dia berjalan ke luar dengan penuh
emosi di raut mukanya. Kau mengikutinya dari belakang, mencoba menenangkannya.
Kalimat yang baru saja ia lontarkan
bagaikan mantra yang langsung membuatku lumpuh dan enggan bertemu denganmu
maupun dengannya lagi. Bagiku, dia seperti penghianat hati. Penghancur makna
ketulusan cinta. Bagaimana mungkin kau bisa bertahan dengan seseorang yang tak
tulus mencintaimu?
Malam itu kulalui sendiri. Kukunci
kamar. Menangis dan menangis. Aku bersedih karena kecewa sekaligus iba padamu.
Melihat wajahmu membuatku semakin terluka. Kau mencoba bicara padaku. Namun
semua sudah tak ada artinya. Bubur tak bisa jadi nasi lagi. Aku ingin tetap
berdiam diri di kamar sampai kau dan dia pergi dari rumah. Biar kau yang
menanggung deritamu sendiri pikirku saat itu.
“Tidak…” kataku dalam hati mencoba
memusnahkan memori itu. Kugeleng-gelengkan kepala berharap pintu kepiluan itu
menutup kembali. Setelah semua tenang dan aku kembali dalam dunia nyata dengan
kesadaran penuh, kudapati orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Maaf,” kataku sambil menahan malu
yang mendalam.
Aku sudah putuskan untuk tidak
melamun lagi. Kini aku sudah tahu segalanya, semua hal yang kau sembunyikan
dariku. Kau menikahi gadis itu untuk menolong keluarganya dari garis
kemiskinan. Aku sadar ia masih muda. Aku juga bisa memahami jiwanya yang masih
labil.
Kata-katanya lima tahun yang lalu
menyiratkan makna kepedihan. Kau dan dia korban keadaan. Aku paham. Jika aku
berada di posisinya, aku belum tentu kuat menjalani semua. Ikatan tanpa cinta.
Tapi kau selalu menanamkan dalam dirimu bahwa cinta akan datang dengan
sendirinya. Rumit. Aku tak tahu jalan pikiranmu.
Proses yang selama ini kucintai
telah menghantarkanku pada pemahaman bahwa semua butuh waktu untuk mengerti.
Lima tahun inilah saat aku telah bisa mengerti. Mengerti dalamnya pengorbanan
kalian. Dan saat inilah waktu untukku meminta semua maaf yang belum sempat
terucap.
Kulalui senja di ufuk barat dengan
perasaan campur aduk. Masihkah ia marah padaku? Pertanyaan itu yang selalu
menghantar kepergianku. Namun aku tak peduli. Inilah caraku merepresentasikan
nasihat Ibu bertahun-tahun yang lalu tentang makna maaf. Karena dengan inilah
aku bisa menghadirkannya kembali bersamaku.
Kuingin menghilangkan sakit di
hatinya. Tiga hari saja bersamanya. Cukup tiga hari saja untuk mengenalnya dan
mengubah cerita kelam ini menjadi sesuatu yang bercahaya. Mencoba mencari satu
kebaikan dalam dirinya. Mencoba menerima dia apa adanya meskipun Ibu tak akan
pernah terganti.
Rintik hujan semakin memudar.
Diiringi deru adzan maghrib, bus masih melaju dan hanya aku satu-satunya
penumpang yang tersisa. Di depan sana samar-samar kubisa melihat siluetmu
berdiri melambaikan tangan ke arahku. Bus berhenti. Kuturun dan mulai meniti
lagi jalan yang panjang. Jalan yang bisa mendekatkanku pada Tuhanku di Ramadhan
tahun ini.
-End-



