Minggu, 29 Juli 2012

Kedatanganku untukMu


            Banyak orang memutuskan untuk menyayangi seseorang tanpa berpikir panjang
           Padahal menyayangi itu tak semudah yang mereka rasa
         Menyayangi seseorang itu berarti harus mau menerima konsekuensi untuk kehilangan selama-lamanya
            …
            Hujan mengiringi keberangkatanku. Derasnya butiran air yang jatuh menyisakan dentuman keras di atap kereta, beradu dengan bisingnya mesin yang membawa kereta melaju. Aku bersandar di punggung kursi dan menatap ke arah jendela. Butir-butir air yang terjatuh di jendela  membentuk aliran indah. Bergumul tak karuan, tapi menenangkan. Samar-samar aku masih bisa melihat lintasan hijau bahkan kelabu langit di luar sana.
            Aku belum merasa lemas meski hanya sempat menyantap sepotong roti tawar ketika sahur pagi tadi. Aku harap aku masih kuat sampai Tangerang. Rasa gugupku mengalahkan segalanya saat ini. Maklumlah, ini pengalaman pertamaku ke luar kota sendiri tanpa teman sama sekali.
            …
            Sering aku bertanya apakah mereka sempat memikirkan perpisahan yang akan mereka alami kelak
            Siap atau tidak siap
            Menyenangkan atau secara tidak baik-baik
            Melegakan atau menyisakan beribu pertanyaan
            Bagaimana pun itu, nasib tak akan peduli sesakit apa yang kau rasakan
            Ia juga tak peduli seberapa berartinya seseorang itu untukmu
            …       
            Aku mencoba mengalihkan pandangan. Tetap pada posisi semula, aku terus mencari objek menarik sejauh mata ini bisa memandang. Tampaknya tak banyak yang bisa terekam oleh mataku. Hanya sosok wanita tua renta berbaju batik yang berhasil membuatku tak berpaling. Ia duduk tepat di depanku. Nenek itu sedang tertidur pulas. Wajahnya mengisyaratkan kelelahan yang luar biasa. Apakah ia sendirian sepertiku?
            Seulas senyum tipis yang tersirat di wajah manula itu mengingatkanku pada seseorang. Perlahan tapi pasti, perasaan itu muncul kembali dan memaksaku untuk tenggelam di dalamnya. Tak ada lagi gugup. Tak ada lagi rasa takut tersesat di perjalanan. Detik ini hanya milikku dan kenangan itu.
            Aku masih ingat betapa galaknya sosok wanita kepala tiga itu. Rambut ikalnya selalu naik turun tatkala ia memarahiku karena kesalahan yang aku pun tak mengerti dimana letak kesalahanku. Tiada hari tanpa omelan. Aku berpikir tingkahku biasa saja. Hanya sebatas keinginan anak-anak menikmati indahnya masa bebasnya saja, dimana dunia penuh khayalan tanpa ada sekat sedikit pun. Waktu itu aku selalu ingin mengatakan jangan ganggu kesenanganku. Aku hanya ingin bebas bermain sampai aku lelah sendiri. Namun ia selalu berhasil merebut kebebasanku dan membuatku terdiam seketika tanpa daya. Menyuruhku ini itu padahal ia tahu jika aku tak bisa melakukannya. Ia tak tahu betapa iri diri ini melihat kawan-kawan bermain di luar. Tertawa lepas. Sesekali bertengkar lalu berbaikan lagi. Sedangkan aku hanya bisa menatap di balik jendela kamar.
            Aku sendiri heran mengapa aku bisa bertahan hidup sampai sekarang dengan keadaan seperti itu. Ikat pinggang, kemoceng, batang sapu, bahkan kursi plastik pernah ia daratkan di tubuhku dan menyisakan biru lebam menyakitkan. Kami selalu kejar-kejaran bak kucing dan tikus.
            …
            Ini bukan sekadar pelajaran
            Hati ada untuk mengerti
            …
            Baru beberapa hari ini kematiannya berhasil membuatku menangis. Dulu tak sama sekali. Jangankan menangis, mengerti arti pertemuan dan perpisahan pun aku tak tahu. Hanya permainan-permainan menyenangkan saja yang bisa kupikirkan sebelas tahun yang lalu. Menangis untuk kalah dan tertawa untuk menang. Hanya itu. Tak kurang tak lebih.
            Hatiku tercekat dengan kenyataan ini, kenyataan bahwa ia berarti bagiku, hal yang telah lama tak kusadari. Aku sangat rapuh untuk mengurai satu per satu makna kebersamaan dengannya. Rasanya sakit jika mengingat semua yang telah ia berikan. Kenapa ia harus meninggalkanku sebelas tahun yang lalu, sedangkan aku masih terlalu muda tuk merasakan betapa dalamnya kasih yang ia berikan tatkala itu.
            Jika Allah tak pernah mempertemukanku dengannya, mungkin sampai saat ini aku tak pernah mengerti arti minta maaf dan memaafkan. Aku masih ingat dulu ia pernah mogok bicara padaku karena aku tidak mau menyapu rumah. Aku mencoba berkali-kali mengajaknya bicara, namun diam yang kudapatkan. Ia pun enggan menoleh padaku. Rasanya aneh. Saat itu pun ia tak melayangkan satu pukulan sama sekali ke tubuhku. Dengan cara berpikir yang masih polos, aku menduga bahwa ia sedang sakit.
            “Ibu,kenapa kau tak mau bicara padaku?” tanyaku setengah membentak di balik jendela kamar yang langsung mengarah ke halaman belakang.
            Tak ada jawaban darinya. Ia justru asyik menyapu.
            “Ibu,” rengekku tak berdaya.
            “Mengapa kamu tak minta maaf padaku?”
            Ia menatapku galak. Tatapan yang dari tadi tak ia tampakkan secara tak terduga muncul kembali.
            “Maaf,” kataku sambil menangis.
            Ia tersenyum simpul. Manis sekali. Seketika sakit di wajahnya hilang.         
            Saat itu aku berpikir bahwa aku harus minta maaf jika aku telah membuat orang lain sakit. Kurasa itu pemikiran yang bijak untuk anak usia taman kanak-kanak meskipun sebenarnya maaf itu lebih dari sekadar mengobati sakitnya seseorang.
            Ibu selalu mengajariku nilai-nilai kehidupan di balik sebuah kejadian yang kualami bersamanya. Bahkan ia mengajariku hal kecil yang tak banyak orang melakukannya.
            “Jika kamu melihat paku di jalan,jangan lupa kamu buang paku itu. Jika tidak, maka akan ada orang lain yang terluka.”
            Sampai hal besar pun ia pahamkan padaku.
            “Lebih baik kita miskin daripada kita kaya dari hasil mencuri.”
            Nasihat-nasihatnya masih membekas di hatiku. Seiring dengan bertambahnya terjalan jalan yang kulalui, aku mulai paham satu per satu nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu membuatku mencintai proses pembelajaran dan orang-orang yang memberiku pelajaran walaupun aku akan mencintainya bertahun-tahun kemudian, setelah semua kupahami.
            Ingatan itu deras menghujani hatiku sederas hujan hari ini. Jauh dari lamunan yang baru saja kutinggalkan, kusadari ada aliran tipis di pipiku. Masih mengalir, tapi kupaksa untuk berhenti. 
            …
            Perjalanan masih panjang,
            sepanjang apa yang belum kita ketahui
            …
            Hujan di luar belum juga reda. Kaca jendela di samping kananku mulai mengembun. Angin yang menerpa pepohonan di luar sana mencuri-curi masuk lewat celah-celah jendela. Membuat semua terasa dingin. Lebih dingin dari menit-menit yang lalu.
            “Pasar Senen… Pasar Senen” teriak seseorang di ujung gerbong. Orang-orang mulai menggeliat berusaha mengumpulkan barang-barang bawaan mereka. Nenek di hadapanku terkaget-kaget setelah ada seorang lelaki muda membangunkannya dengan setengah mengguncang bahu si nenek. Kereta telah kosong. Aku pun segera beranjak dari tempat duduk sambil menenteng sebuah tas kecil.
            Hujan membasahi semuanya. Allah baik sekali, Ia menyampaiakan perasaanku hingga langit dan bumi pun ikut merasakannya. Semua seakan-akan mencoba menutupi sisa-sisa tangis yang kutinggalkan. Membawanya pergi hingga ke tempat yang lebih baik. Lautan cinta.
            Aku berjalan setengah berlari menerjang puluhan orang yang merapat di tepian toko. Sudah tak ada lagi waktu untuk berteduh meskipun masih ada beberapa warung di pinggiran jalan yang sepi. Kini aku harus mencari bus yang bisa membawaku pergi menuju kotamu. Kusibakkan payung yang dari tadi kusimpan rapi dalam tas. Melangkah maju di bawah air mata langit Jakarta.
            Bus yang kunaiki penuh sesak. Untung saja aku mendapatkan tempat duduk. Pemandangannya masih sama seperti di kereta. Jendela basah dan liukan air hujan. Aku tak memepedulikan yang lain. Hanya hujan yang bisa membuatku tenang.
            Ini perjalanan besarku. Aku tahu siapa yang akan kutemui nanti: kau dan istrimu. Pikiranku tak berani membayangkan hal-hal memilukan apa yang akan kualami nanti. Mengetahui kau menikah dengan gadis itu sudah cukup membuatku terpukul.
            Aku sudah tak memiliki tenaga untuk menangisi segala sesuatu tentangmu. Kau sama seperti Ibu, terlalu berharga bagiku. Aku tak bisa membencimu dengan segala keputusanmu. Semua yang ada padamu adalah pilihanmu, dan aku hanya bisa mendoakanmu.
            Lamunanku berkelana lagi. Sayangnya kisah tentangmulah yang tiba-tiba muncul di pikiranku. Tepat lima tahun yang lalu, saat semua begitu kelabu bagiku. Kau datang membawa kabar itu.
            “Ayah sudah menikah. Dia gadis yang baik. Aku harap kamu bisa mengerti.”
            Bukan pedih lagi yang kurasa tatkala kutahu kau telah memilih jalan itu tanpa sepengetahuanku. Aku merasa hancur. Hancur lebur. Pernyataanmu itu seperti mengisyaratkan bahwa aku adalah penghalang besarmu menuju kebahagiaan. Namun kau tak tahu,aku selalu menyebut namamu di dalam sepertiga malamku. Berharap semua bukan kesia-siaan belaka.
            “I…iya. Bolehkah aku bicara dengannya?”
            Aku berusaha menganggap semua biasa saja. Sebisa mungkin menutupi kekecewaanku. Sekuat-kuatnya kumenutupi segala sesuatu yang bisa meruntuhkan kebahagiaanmu, aku tetap saja tak sanggup menghalangi linangan air mata yang sudah di pelupuk mata dan siap mengalir.
            …
            Saat kau lewat jalan curam,
            Kau hanya bisa berdoa dan tetap berjalan
            …
            Tak ada kata terlambat bagimu. Selama aku mau mengenalnya, kau akan mengenalkannya padaku. Beberapa hari setelah kau memberi angin ribut, kau datang membawa sembilu itu.
            “Ayah datang…asik…”teriak adikku sambil berlari ke teras disusul paman dan bibiku.
            Kusegera meletakkan buku yang sedang kubaca dan mengikuti mereka. Namun langkahku hanya bisa sampai di jendela depan saja. Kumelihat kau menggandeng seorang perempuan. Ia kurus, tinggi, dan masih muda sepertiku. Ada rasa kecewa ketika melihat wajah itu meski dari kejauhan. Aku selalu berharap sosok wanita seperti Ibu yang harusnya kau sanding lagi. Ini sulit bagiku. Kuputuskan kembali ke kamar sambil terisak sejadi-jadinya. Merasa telah hancur semua.
            Dari kamar aku bisa mendengar langkah-langkah kaki menuju ruang tamu. Aku masih hafal betul suaramu. Kau menanyakan keberadaanku. Sesaat hening. Lalu kau memecah keheningan itu.
            “Aku tahu dimana.”
            Pintu kamarku terbuka. Kau hadir membawa senyum itu. Senyum yang sama seperti dulu.
            “Aku…aku tak mau menemuinya,” kataku sambil terisak perih.
            “Maafkan aku. Aku tahu kau kecewa, tapi temuilah ia walau satu kali saja,” tuturmu sambil membelai lembut tanganku. Belaian yang sama seperti dulu.
            “Kutunggu di luar,” pintamu sambil berlalu.
            Kumeratapimu tanpa kau sadari. Hanya bisa memandangi punggungmu hingga tak terlihat lagi.
            Kau satu-satunya orang tua yang masih kupunya. Aku harus membahagiakanmu sesulit apa pun permintaanmu. Kutahan isakanku sebisanya. Kuhapus air mata dan kulangkahkan kaki ke luar.
            “Assalamu’alaikum,” salamku sambil menampakkan senyum terindah yang bisa kuberi. Tanpa berpikir panjang, kududuk di samping gadis muda berbaju kuning itu.
            Kuulurkan tangan padanya. Ia sempat menatap mataku, namum hanya sekejap dan tanpa balasan uluran tangan. Aku tetap mempertahankan uluran tanganku. Namun percuma. Dia tak menyambut baik niatku.
            “Aku minta maaf atas sambutanku yang kurang menyenangkan,” kataku seramah mungkin. Masih mengulurkan tangan.
            Ia menegakkan tubuh dan mengacungkan telunjuknya tepat di mukaku. “Kau harusnya mengerti aku!” dia membentakku dengan penekanan-penekanan di setiap kata-katanya, “Aku yang masih perawan rela menikah dengan ayahmu yang duda!”
            Dia berjalan ke luar dengan penuh emosi di raut mukanya. Kau mengikutinya dari belakang, mencoba menenangkannya.
            Kalimat yang baru saja ia lontarkan bagaikan mantra yang langsung membuatku lumpuh dan enggan bertemu denganmu maupun dengannya lagi. Bagiku, dia seperti penghianat hati. Penghancur makna ketulusan cinta. Bagaimana mungkin kau bisa bertahan dengan seseorang yang tak tulus mencintaimu?
            Malam itu kulalui sendiri. Kukunci kamar. Menangis dan menangis. Aku bersedih karena kecewa sekaligus iba padamu. Melihat wajahmu membuatku semakin terluka. Kau mencoba bicara padaku. Namun semua sudah tak ada artinya. Bubur tak bisa jadi nasi lagi. Aku ingin tetap berdiam diri di kamar sampai kau dan dia pergi dari rumah. Biar kau yang menanggung deritamu sendiri pikirku saat itu.
            “Tidak…” kataku dalam hati mencoba memusnahkan memori itu. Kugeleng-gelengkan kepala berharap pintu kepiluan itu menutup kembali. Setelah semua tenang dan aku kembali dalam dunia nyata dengan kesadaran penuh, kudapati orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya.
            “Maaf,” kataku sambil menahan malu yang mendalam.
            Aku sudah putuskan untuk tidak melamun lagi. Kini aku sudah tahu segalanya, semua hal yang kau sembunyikan dariku. Kau menikahi gadis itu untuk menolong keluarganya dari garis kemiskinan. Aku sadar ia masih muda. Aku juga bisa memahami jiwanya yang masih labil.
            Kata-katanya lima tahun yang lalu menyiratkan makna kepedihan. Kau dan dia korban keadaan. Aku paham. Jika aku berada di posisinya, aku belum tentu kuat menjalani semua. Ikatan tanpa cinta. Tapi kau selalu menanamkan dalam dirimu bahwa cinta akan datang dengan sendirinya. Rumit. Aku tak tahu jalan pikiranmu.
            Proses yang selama ini kucintai telah menghantarkanku pada pemahaman bahwa semua butuh waktu untuk mengerti. Lima tahun inilah saat aku telah bisa mengerti. Mengerti dalamnya pengorbanan kalian. Dan saat inilah waktu untukku meminta semua maaf yang belum sempat terucap.
            Kulalui senja di ufuk barat dengan perasaan campur aduk. Masihkah ia marah padaku? Pertanyaan itu yang selalu menghantar kepergianku. Namun aku tak peduli. Inilah caraku merepresentasikan nasihat Ibu bertahun-tahun yang lalu tentang makna maaf. Karena dengan inilah aku bisa menghadirkannya kembali bersamaku.
            Kuingin menghilangkan sakit di hatinya. Tiga hari saja bersamanya. Cukup tiga hari saja untuk mengenalnya dan mengubah cerita kelam ini menjadi sesuatu yang bercahaya. Mencoba mencari satu kebaikan dalam dirinya. Mencoba menerima dia apa adanya meskipun Ibu tak akan pernah terganti.
            Rintik hujan semakin memudar. Diiringi deru adzan maghrib, bus masih melaju dan hanya aku satu-satunya penumpang yang tersisa. Di depan sana samar-samar kubisa melihat siluetmu berdiri melambaikan tangan ke arahku. Bus berhenti. Kuturun dan mulai meniti lagi jalan yang panjang. Jalan yang bisa mendekatkanku pada Tuhanku di Ramadhan tahun ini.


-End-

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar