Kamis, 12 Juli 2012

MALBUK #1


Masihkah Ada Langit Biru untuk Kotaku?



            Tanahku bercerita sebuah sage
            Dongeng alam didikan Sang Juru Keseimbangan
            Tentang perjuangan bumi membesarkan sebiji ceri
            Tentang kasih bumi menjaga kelopak-kelopak krisan
            Tentang kepahlawanan duri-duri mawar menjaga bunganya
            Dan tentang manusia dan jalan mana yang akan ia perjuangkan
            Aku masih ingat sebuah kalimat yang dulu pernah diucap oleh kakekku: satu pohon adalah kekasih  bagi bumi. Ia dilahirkan dari jalinan rumit karbon yang tertanam di bumi. Tumbuh berkembang dalam asuhan bumi lalu mendewasakan diri dalam klise kehidupan. Jika kelak ia masih bisa bertahan, ia akan berdiri tegak di bawah terik gumpalan helium serta melambaikan hijau riangnya sebagai ungkapan rasa syukur dan cinta pada buminya. Akan tetapi, tak ada yang tahu seberapa hebat bumi bisa mengokohkan akar pohonnya dan seberapa tegar bumi melahirkan tunas-tunas kehidupan lainnya. Hanya Sang Guru saja yang mampu
            Pagi tampak romantis. Visualisasi dan melodi yang sempurna dari Sang Esa. Langit tak lagi sesumbar. Birunya kini menjadikan indah bayang-bayang hari. Iring-iringan kicauan belasan burung liar seakan menggoda puluhan telinga yang lalu-lalang. Gerakan kemayu dari lambaian gerombolan merah jingga mahkota flamboyan membuatku terbelalak kagum. Cemerlang flamboyan tersaji di setiap tepian jalan. Merekah dan memesona jiwa.
            Seperti biasa, aku menyusuri jalanan berdebu tatkala pagi mulai menggeliat halus. Kerudung putihku berkibar lembut seiring langkah tegapku. Tas jinjing buluk warna hitamku berayun riang dalam genggaman. Orang-orang tak lupa bertegur sapa sebagai tanda ikatan persaudaraan. Seperti biasa, aku yakin hari ini pasti akan menjadi hari terbaik dari sekian banyak hari terbaik yang selalu aku jalani.
            Namun ada masa ketika romansa ceria itu hilang
            Tercoreng oleh nama ketimpangan
            Yang harusnya sayang berulah
            Cuma bisa jadi kepahitan
            “Kamu tidak usah macam-macam! Ini demi kita!” teriak seorang ibu kepada anaknya. Suaranya begitu lantang sehingga dari jarak satu meter aku bisa mendengarnya dengan jelas tanpa penghalang.
            Aku berhenti sejenak untuk mengamati diorama menyedihkan itu. Seorang ibu muda berpakaian lusuh menarik tangan anak laki-lakinya dengan kasar. Anak itu hanya terdiam sambil memeluk gitar kecilnya. Langkahnya tersendat-sendat dan wajahnya muram seolah-olah tak ingin menuruti paksaan ibunya.
            “Cepat! Kau tak ingin kelaparan lagi, kan?” ancam ibu muda itu sembari mengencangkan kepalan tangannya.
            Ibu dan anak itu berpas-pasan denganku. Aku berusaha keras menatap anak itu, namun aku tak bisa menatap jelas wajahnya. Ia hanya merunduk dan merunduk. Terhuyung sejalan geretan takdir yang membesarkannya.
            Jika tunas itu tergilas roda-roda dunia, masihkah ia hidup?
            Peristiwa memilukan yang baru saja aku saksikan telah memberikan satu pukulan telak dalam dadaku. Nafas terasa sesak setiap kali mencoba mengingat setiap detail film pendek itu. Teriakan. Sedih. Paksaan. Anak kecil. Gitar mungil. Kemiskinan. Argh…. Masihkah ada yang lebih tega membuatku mati bergetar selain menyaksikan seorang ibu mengambinghitamkan anaknya untuk secuil harapan?

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar