Tanahku
bercerita sebuah sage
Dongeng
alam didikan Sang Juru Keseimbangan
Tentang
perjuangan bumi membesarkan sebiji ceri
Tentang
kasih bumi menjaga kelopak-kelopak krisan
Tentang
kepahlawanan duri-duri mawar menjaga bunganya
Dan
tentang manusia dan jalan mana yang akan ia perjuangkan
Aku masih ingat sebuah kalimat yang
dulu pernah diucap oleh kakekku: satu pohon adalah kekasih bagi bumi. Ia dilahirkan dari jalinan rumit
karbon yang tertanam di bumi. Tumbuh berkembang dalam asuhan bumi lalu
mendewasakan diri dalam klise kehidupan. Jika kelak ia masih bisa bertahan, ia
akan berdiri tegak di bawah terik gumpalan helium serta melambaikan hijau
riangnya sebagai ungkapan rasa syukur dan cinta pada buminya. Akan tetapi, tak
ada yang tahu seberapa hebat bumi bisa mengokohkan akar pohonnya dan seberapa
tegar bumi melahirkan tunas-tunas kehidupan lainnya. Hanya Sang Guru saja yang
mampu
Pagi tampak romantis. Visualisasi dan
melodi yang sempurna dari Sang Esa. Langit tak lagi sesumbar. Birunya kini
menjadikan indah bayang-bayang hari. Iring-iringan kicauan belasan burung liar seakan
menggoda puluhan telinga yang lalu-lalang. Gerakan kemayu dari lambaian gerombolan
merah jingga mahkota flamboyan membuatku terbelalak kagum. Cemerlang flamboyan
tersaji di setiap tepian jalan. Merekah dan memesona jiwa.
Seperti biasa, aku menyusuri jalanan
berdebu tatkala pagi mulai menggeliat halus. Kerudung putihku berkibar lembut
seiring langkah tegapku. Tas jinjing buluk warna hitamku berayun riang dalam
genggaman. Orang-orang tak lupa bertegur sapa sebagai tanda ikatan
persaudaraan. Seperti biasa, aku yakin hari ini pasti akan menjadi hari terbaik
dari sekian banyak hari terbaik yang selalu aku jalani.
Namun ada masa ketika romansa ceria
itu hilang
Tercoreng oleh nama ketimpangan
Yang harusnya sayang berulah
Cuma bisa jadi kepahitan
“Kamu tidak usah macam-macam! Ini
demi kita!” teriak seorang ibu kepada anaknya. Suaranya begitu lantang sehingga
dari jarak satu meter aku bisa mendengarnya dengan jelas tanpa penghalang.
Aku berhenti sejenak untuk mengamati
diorama menyedihkan itu. Seorang ibu muda berpakaian lusuh menarik tangan anak
laki-lakinya dengan kasar. Anak itu hanya terdiam sambil memeluk gitar
kecilnya. Langkahnya tersendat-sendat dan wajahnya muram seolah-olah tak ingin
menuruti paksaan ibunya.
“Cepat! Kau tak ingin kelaparan
lagi, kan?” ancam ibu muda itu sembari mengencangkan kepalan tangannya.
Ibu dan anak itu berpas-pasan
denganku. Aku berusaha keras menatap anak itu, namun aku tak bisa menatap jelas
wajahnya. Ia hanya merunduk dan merunduk. Terhuyung sejalan geretan takdir yang
membesarkannya.
Jika
tunas itu tergilas roda-roda dunia, masihkah ia hidup?
Peristiwa memilukan yang baru saja
aku saksikan telah memberikan satu pukulan telak dalam dadaku. Nafas terasa
sesak setiap kali mencoba mengingat setiap detail film pendek itu. Teriakan.
Sedih. Paksaan. Anak kecil. Gitar mungil. Kemiskinan. Argh…. Masihkah ada yang
lebih tega membuatku mati bergetar selain menyaksikan seorang ibu
mengambinghitamkan anaknya untuk secuil harapan?

0 komentar:
Posting Komentar