Kamis, 06 Desember 2012

Dan Ternyata Dia Itu...

Aku melihat dia. seseorang yang kucari dan kutunggu makna hadirnya di sini. dia sudah lama kunanti karena hanya dia yang mampu membangunkan singa dalam diriku. kudekati dia dan kusapa. dia menoleh. betapa kagetnya aku karena dia adalah diriku sendiri.

Rabu, 21 November 2012

Memori...

sudah lama tak merasakan rasa-rasa bebas bermain seperti dulu...
ketika kita tertawa dengan hati...
ketika kita marah dengan amarah...
ketika kita bahagia karena cinta...
ketika semua indah di masa muda...
:D

Senin, 19 November 2012

Kuyakin


Ketika hatiku telah dipilih oleh satu cinta, aku akan merasa tak pantas tuk dipilih. Ketika semua pergi dan meninggalkan hatiku kosong, aku ingin merasakan dicintai. Tak tahu harus bagaimana. Namun kuyakin hatiku akan berkata iya dengan cinta yang sebenarnya :)

Jumat, 02 November 2012

Muak Aku Sama Kamu

Aku ingat perkataan bahwa Tuhan memberi kita masalah karena Tuhan menyayangi kita. Aku percaya itu. Dan sekarang Ia masih mengujiku dengan menyandingkanku dengan partner kerja yang 'merasa hebat'. Oke fix dia emang pantang menyerah. Tapi setidaknya hargai aku sebagai partnermu bung. Semoga aku bisa melewati ini dengan kesabaran.

Minggu, 29 Juli 2012

Kedatanganku untukMu


            Banyak orang memutuskan untuk menyayangi seseorang tanpa berpikir panjang
           Padahal menyayangi itu tak semudah yang mereka rasa
         Menyayangi seseorang itu berarti harus mau menerima konsekuensi untuk kehilangan selama-lamanya
            …
            Hujan mengiringi keberangkatanku. Derasnya butiran air yang jatuh menyisakan dentuman keras di atap kereta, beradu dengan bisingnya mesin yang membawa kereta melaju. Aku bersandar di punggung kursi dan menatap ke arah jendela. Butir-butir air yang terjatuh di jendela  membentuk aliran indah. Bergumul tak karuan, tapi menenangkan. Samar-samar aku masih bisa melihat lintasan hijau bahkan kelabu langit di luar sana.
            Aku belum merasa lemas meski hanya sempat menyantap sepotong roti tawar ketika sahur pagi tadi. Aku harap aku masih kuat sampai Tangerang. Rasa gugupku mengalahkan segalanya saat ini. Maklumlah, ini pengalaman pertamaku ke luar kota sendiri tanpa teman sama sekali.
            …
            Sering aku bertanya apakah mereka sempat memikirkan perpisahan yang akan mereka alami kelak
            Siap atau tidak siap
            Menyenangkan atau secara tidak baik-baik
            Melegakan atau menyisakan beribu pertanyaan
            Bagaimana pun itu, nasib tak akan peduli sesakit apa yang kau rasakan
            Ia juga tak peduli seberapa berartinya seseorang itu untukmu
            …       
            Aku mencoba mengalihkan pandangan. Tetap pada posisi semula, aku terus mencari objek menarik sejauh mata ini bisa memandang. Tampaknya tak banyak yang bisa terekam oleh mataku. Hanya sosok wanita tua renta berbaju batik yang berhasil membuatku tak berpaling. Ia duduk tepat di depanku. Nenek itu sedang tertidur pulas. Wajahnya mengisyaratkan kelelahan yang luar biasa. Apakah ia sendirian sepertiku?
            Seulas senyum tipis yang tersirat di wajah manula itu mengingatkanku pada seseorang. Perlahan tapi pasti, perasaan itu muncul kembali dan memaksaku untuk tenggelam di dalamnya. Tak ada lagi gugup. Tak ada lagi rasa takut tersesat di perjalanan. Detik ini hanya milikku dan kenangan itu.
            Aku masih ingat betapa galaknya sosok wanita kepala tiga itu. Rambut ikalnya selalu naik turun tatkala ia memarahiku karena kesalahan yang aku pun tak mengerti dimana letak kesalahanku. Tiada hari tanpa omelan. Aku berpikir tingkahku biasa saja. Hanya sebatas keinginan anak-anak menikmati indahnya masa bebasnya saja, dimana dunia penuh khayalan tanpa ada sekat sedikit pun. Waktu itu aku selalu ingin mengatakan jangan ganggu kesenanganku. Aku hanya ingin bebas bermain sampai aku lelah sendiri. Namun ia selalu berhasil merebut kebebasanku dan membuatku terdiam seketika tanpa daya. Menyuruhku ini itu padahal ia tahu jika aku tak bisa melakukannya. Ia tak tahu betapa iri diri ini melihat kawan-kawan bermain di luar. Tertawa lepas. Sesekali bertengkar lalu berbaikan lagi. Sedangkan aku hanya bisa menatap di balik jendela kamar.
            Aku sendiri heran mengapa aku bisa bertahan hidup sampai sekarang dengan keadaan seperti itu. Ikat pinggang, kemoceng, batang sapu, bahkan kursi plastik pernah ia daratkan di tubuhku dan menyisakan biru lebam menyakitkan. Kami selalu kejar-kejaran bak kucing dan tikus.
            …
            Ini bukan sekadar pelajaran
            Hati ada untuk mengerti
            …
            Baru beberapa hari ini kematiannya berhasil membuatku menangis. Dulu tak sama sekali. Jangankan menangis, mengerti arti pertemuan dan perpisahan pun aku tak tahu. Hanya permainan-permainan menyenangkan saja yang bisa kupikirkan sebelas tahun yang lalu. Menangis untuk kalah dan tertawa untuk menang. Hanya itu. Tak kurang tak lebih.
            Hatiku tercekat dengan kenyataan ini, kenyataan bahwa ia berarti bagiku, hal yang telah lama tak kusadari. Aku sangat rapuh untuk mengurai satu per satu makna kebersamaan dengannya. Rasanya sakit jika mengingat semua yang telah ia berikan. Kenapa ia harus meninggalkanku sebelas tahun yang lalu, sedangkan aku masih terlalu muda tuk merasakan betapa dalamnya kasih yang ia berikan tatkala itu.
            Jika Allah tak pernah mempertemukanku dengannya, mungkin sampai saat ini aku tak pernah mengerti arti minta maaf dan memaafkan. Aku masih ingat dulu ia pernah mogok bicara padaku karena aku tidak mau menyapu rumah. Aku mencoba berkali-kali mengajaknya bicara, namun diam yang kudapatkan. Ia pun enggan menoleh padaku. Rasanya aneh. Saat itu pun ia tak melayangkan satu pukulan sama sekali ke tubuhku. Dengan cara berpikir yang masih polos, aku menduga bahwa ia sedang sakit.
            “Ibu,kenapa kau tak mau bicara padaku?” tanyaku setengah membentak di balik jendela kamar yang langsung mengarah ke halaman belakang.
            Tak ada jawaban darinya. Ia justru asyik menyapu.
            “Ibu,” rengekku tak berdaya.
            “Mengapa kamu tak minta maaf padaku?”
            Ia menatapku galak. Tatapan yang dari tadi tak ia tampakkan secara tak terduga muncul kembali.
            “Maaf,” kataku sambil menangis.
            Ia tersenyum simpul. Manis sekali. Seketika sakit di wajahnya hilang.         
            Saat itu aku berpikir bahwa aku harus minta maaf jika aku telah membuat orang lain sakit. Kurasa itu pemikiran yang bijak untuk anak usia taman kanak-kanak meskipun sebenarnya maaf itu lebih dari sekadar mengobati sakitnya seseorang.
            Ibu selalu mengajariku nilai-nilai kehidupan di balik sebuah kejadian yang kualami bersamanya. Bahkan ia mengajariku hal kecil yang tak banyak orang melakukannya.
            “Jika kamu melihat paku di jalan,jangan lupa kamu buang paku itu. Jika tidak, maka akan ada orang lain yang terluka.”
            Sampai hal besar pun ia pahamkan padaku.
            “Lebih baik kita miskin daripada kita kaya dari hasil mencuri.”
            Nasihat-nasihatnya masih membekas di hatiku. Seiring dengan bertambahnya terjalan jalan yang kulalui, aku mulai paham satu per satu nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu membuatku mencintai proses pembelajaran dan orang-orang yang memberiku pelajaran walaupun aku akan mencintainya bertahun-tahun kemudian, setelah semua kupahami.
            Ingatan itu deras menghujani hatiku sederas hujan hari ini. Jauh dari lamunan yang baru saja kutinggalkan, kusadari ada aliran tipis di pipiku. Masih mengalir, tapi kupaksa untuk berhenti. 
            …
            Perjalanan masih panjang,
            sepanjang apa yang belum kita ketahui
            …
            Hujan di luar belum juga reda. Kaca jendela di samping kananku mulai mengembun. Angin yang menerpa pepohonan di luar sana mencuri-curi masuk lewat celah-celah jendela. Membuat semua terasa dingin. Lebih dingin dari menit-menit yang lalu.
            “Pasar Senen… Pasar Senen” teriak seseorang di ujung gerbong. Orang-orang mulai menggeliat berusaha mengumpulkan barang-barang bawaan mereka. Nenek di hadapanku terkaget-kaget setelah ada seorang lelaki muda membangunkannya dengan setengah mengguncang bahu si nenek. Kereta telah kosong. Aku pun segera beranjak dari tempat duduk sambil menenteng sebuah tas kecil.
            Hujan membasahi semuanya. Allah baik sekali, Ia menyampaiakan perasaanku hingga langit dan bumi pun ikut merasakannya. Semua seakan-akan mencoba menutupi sisa-sisa tangis yang kutinggalkan. Membawanya pergi hingga ke tempat yang lebih baik. Lautan cinta.
            Aku berjalan setengah berlari menerjang puluhan orang yang merapat di tepian toko. Sudah tak ada lagi waktu untuk berteduh meskipun masih ada beberapa warung di pinggiran jalan yang sepi. Kini aku harus mencari bus yang bisa membawaku pergi menuju kotamu. Kusibakkan payung yang dari tadi kusimpan rapi dalam tas. Melangkah maju di bawah air mata langit Jakarta.
            Bus yang kunaiki penuh sesak. Untung saja aku mendapatkan tempat duduk. Pemandangannya masih sama seperti di kereta. Jendela basah dan liukan air hujan. Aku tak memepedulikan yang lain. Hanya hujan yang bisa membuatku tenang.
            Ini perjalanan besarku. Aku tahu siapa yang akan kutemui nanti: kau dan istrimu. Pikiranku tak berani membayangkan hal-hal memilukan apa yang akan kualami nanti. Mengetahui kau menikah dengan gadis itu sudah cukup membuatku terpukul.
            Aku sudah tak memiliki tenaga untuk menangisi segala sesuatu tentangmu. Kau sama seperti Ibu, terlalu berharga bagiku. Aku tak bisa membencimu dengan segala keputusanmu. Semua yang ada padamu adalah pilihanmu, dan aku hanya bisa mendoakanmu.
            Lamunanku berkelana lagi. Sayangnya kisah tentangmulah yang tiba-tiba muncul di pikiranku. Tepat lima tahun yang lalu, saat semua begitu kelabu bagiku. Kau datang membawa kabar itu.
            “Ayah sudah menikah. Dia gadis yang baik. Aku harap kamu bisa mengerti.”
            Bukan pedih lagi yang kurasa tatkala kutahu kau telah memilih jalan itu tanpa sepengetahuanku. Aku merasa hancur. Hancur lebur. Pernyataanmu itu seperti mengisyaratkan bahwa aku adalah penghalang besarmu menuju kebahagiaan. Namun kau tak tahu,aku selalu menyebut namamu di dalam sepertiga malamku. Berharap semua bukan kesia-siaan belaka.
            “I…iya. Bolehkah aku bicara dengannya?”
            Aku berusaha menganggap semua biasa saja. Sebisa mungkin menutupi kekecewaanku. Sekuat-kuatnya kumenutupi segala sesuatu yang bisa meruntuhkan kebahagiaanmu, aku tetap saja tak sanggup menghalangi linangan air mata yang sudah di pelupuk mata dan siap mengalir.
            …
            Saat kau lewat jalan curam,
            Kau hanya bisa berdoa dan tetap berjalan
            …
            Tak ada kata terlambat bagimu. Selama aku mau mengenalnya, kau akan mengenalkannya padaku. Beberapa hari setelah kau memberi angin ribut, kau datang membawa sembilu itu.
            “Ayah datang…asik…”teriak adikku sambil berlari ke teras disusul paman dan bibiku.
            Kusegera meletakkan buku yang sedang kubaca dan mengikuti mereka. Namun langkahku hanya bisa sampai di jendela depan saja. Kumelihat kau menggandeng seorang perempuan. Ia kurus, tinggi, dan masih muda sepertiku. Ada rasa kecewa ketika melihat wajah itu meski dari kejauhan. Aku selalu berharap sosok wanita seperti Ibu yang harusnya kau sanding lagi. Ini sulit bagiku. Kuputuskan kembali ke kamar sambil terisak sejadi-jadinya. Merasa telah hancur semua.
            Dari kamar aku bisa mendengar langkah-langkah kaki menuju ruang tamu. Aku masih hafal betul suaramu. Kau menanyakan keberadaanku. Sesaat hening. Lalu kau memecah keheningan itu.
            “Aku tahu dimana.”
            Pintu kamarku terbuka. Kau hadir membawa senyum itu. Senyum yang sama seperti dulu.
            “Aku…aku tak mau menemuinya,” kataku sambil terisak perih.
            “Maafkan aku. Aku tahu kau kecewa, tapi temuilah ia walau satu kali saja,” tuturmu sambil membelai lembut tanganku. Belaian yang sama seperti dulu.
            “Kutunggu di luar,” pintamu sambil berlalu.
            Kumeratapimu tanpa kau sadari. Hanya bisa memandangi punggungmu hingga tak terlihat lagi.
            Kau satu-satunya orang tua yang masih kupunya. Aku harus membahagiakanmu sesulit apa pun permintaanmu. Kutahan isakanku sebisanya. Kuhapus air mata dan kulangkahkan kaki ke luar.
            “Assalamu’alaikum,” salamku sambil menampakkan senyum terindah yang bisa kuberi. Tanpa berpikir panjang, kududuk di samping gadis muda berbaju kuning itu.
            Kuulurkan tangan padanya. Ia sempat menatap mataku, namum hanya sekejap dan tanpa balasan uluran tangan. Aku tetap mempertahankan uluran tanganku. Namun percuma. Dia tak menyambut baik niatku.
            “Aku minta maaf atas sambutanku yang kurang menyenangkan,” kataku seramah mungkin. Masih mengulurkan tangan.
            Ia menegakkan tubuh dan mengacungkan telunjuknya tepat di mukaku. “Kau harusnya mengerti aku!” dia membentakku dengan penekanan-penekanan di setiap kata-katanya, “Aku yang masih perawan rela menikah dengan ayahmu yang duda!”
            Dia berjalan ke luar dengan penuh emosi di raut mukanya. Kau mengikutinya dari belakang, mencoba menenangkannya.
            Kalimat yang baru saja ia lontarkan bagaikan mantra yang langsung membuatku lumpuh dan enggan bertemu denganmu maupun dengannya lagi. Bagiku, dia seperti penghianat hati. Penghancur makna ketulusan cinta. Bagaimana mungkin kau bisa bertahan dengan seseorang yang tak tulus mencintaimu?
            Malam itu kulalui sendiri. Kukunci kamar. Menangis dan menangis. Aku bersedih karena kecewa sekaligus iba padamu. Melihat wajahmu membuatku semakin terluka. Kau mencoba bicara padaku. Namun semua sudah tak ada artinya. Bubur tak bisa jadi nasi lagi. Aku ingin tetap berdiam diri di kamar sampai kau dan dia pergi dari rumah. Biar kau yang menanggung deritamu sendiri pikirku saat itu.
            “Tidak…” kataku dalam hati mencoba memusnahkan memori itu. Kugeleng-gelengkan kepala berharap pintu kepiluan itu menutup kembali. Setelah semua tenang dan aku kembali dalam dunia nyata dengan kesadaran penuh, kudapati orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya.
            “Maaf,” kataku sambil menahan malu yang mendalam.
            Aku sudah putuskan untuk tidak melamun lagi. Kini aku sudah tahu segalanya, semua hal yang kau sembunyikan dariku. Kau menikahi gadis itu untuk menolong keluarganya dari garis kemiskinan. Aku sadar ia masih muda. Aku juga bisa memahami jiwanya yang masih labil.
            Kata-katanya lima tahun yang lalu menyiratkan makna kepedihan. Kau dan dia korban keadaan. Aku paham. Jika aku berada di posisinya, aku belum tentu kuat menjalani semua. Ikatan tanpa cinta. Tapi kau selalu menanamkan dalam dirimu bahwa cinta akan datang dengan sendirinya. Rumit. Aku tak tahu jalan pikiranmu.
            Proses yang selama ini kucintai telah menghantarkanku pada pemahaman bahwa semua butuh waktu untuk mengerti. Lima tahun inilah saat aku telah bisa mengerti. Mengerti dalamnya pengorbanan kalian. Dan saat inilah waktu untukku meminta semua maaf yang belum sempat terucap.
            Kulalui senja di ufuk barat dengan perasaan campur aduk. Masihkah ia marah padaku? Pertanyaan itu yang selalu menghantar kepergianku. Namun aku tak peduli. Inilah caraku merepresentasikan nasihat Ibu bertahun-tahun yang lalu tentang makna maaf. Karena dengan inilah aku bisa menghadirkannya kembali bersamaku.
            Kuingin menghilangkan sakit di hatinya. Tiga hari saja bersamanya. Cukup tiga hari saja untuk mengenalnya dan mengubah cerita kelam ini menjadi sesuatu yang bercahaya. Mencoba mencari satu kebaikan dalam dirinya. Mencoba menerima dia apa adanya meskipun Ibu tak akan pernah terganti.
            Rintik hujan semakin memudar. Diiringi deru adzan maghrib, bus masih melaju dan hanya aku satu-satunya penumpang yang tersisa. Di depan sana samar-samar kubisa melihat siluetmu berdiri melambaikan tangan ke arahku. Bus berhenti. Kuturun dan mulai meniti lagi jalan yang panjang. Jalan yang bisa mendekatkanku pada Tuhanku di Ramadhan tahun ini.


-End-

Minggu, 15 Juli 2012

Pesan Kehidupan

"Siapa yang menanam baik,maka hasilnya baik. Siapa menanam buruk,maka hasilnya buruk. Namun terkadang rumput ikut tumbuh tatkala padi tumbuh."

Kamis, 12 Juli 2012

TANYA HATI

Kisah Cinderella? Aku pikir itu hanya ada dalam fiksi belaka. Bahkan aku sangsi dengan kehidupan yang bahagia. Mengapa karakter-karakter terkenal para putri selalu dikisahkan dengan awal penderitaan dan HAPPY ENDING. Mengapa mereka tak dijalankan dengan kehidupan menderita sampai akhir hayatnya. Itu semua terserah penulis cerita pasti. 
Kembali pada kebahagiaan lagi. Kebahagiaan bagiku adalah ketika kita bisa merasakan cinta. Cinta bukan sembarang cinta. Cinta yang kumaksud adalah cinta kepada sesuatu yang bisa mengajarkan kita kebaikan--dimana kita bisa benar-benar merasakan ruh kedamaian yang merasuk dalam qalbu dan menyatu menjadi diri kita yang bijaksana dalam menanggapi hiruk-pikuk dunia. Akan tetapi, apa yang bisa dilakukan jika ternyata hati sudah tak bisa merasakan cinta itu lagi? Sudah matikah ia? Atau ia hanya sekadar tidur sejenak dan akan terbangun lagi ketika lelahnya telah hilang?
Tak ada ilmu pasti yang bisa menguak ketajaman hati dalam merasa. Begitu pula aku. Telah lama aku menangis. Telah lama aku mudah jatuh simpati lalu menangis. Telah lama aku merenungi lalu menangis. Menangis lagi. Menangis. Menangis. Hingga aku tak bisa menangis bahkan susah merasakan apa itu MALU, SAKIT, BAHAGIA, bahkan MARAH. Mata hatiku sudah mulai katarak mungkin. Tak bisa berdiam lama. Aku harus tahu jawabannya.

MALBUK #1


Masihkah Ada Langit Biru untuk Kotaku?



            Tanahku bercerita sebuah sage
            Dongeng alam didikan Sang Juru Keseimbangan
            Tentang perjuangan bumi membesarkan sebiji ceri
            Tentang kasih bumi menjaga kelopak-kelopak krisan
            Tentang kepahlawanan duri-duri mawar menjaga bunganya
            Dan tentang manusia dan jalan mana yang akan ia perjuangkan
            Aku masih ingat sebuah kalimat yang dulu pernah diucap oleh kakekku: satu pohon adalah kekasih  bagi bumi. Ia dilahirkan dari jalinan rumit karbon yang tertanam di bumi. Tumbuh berkembang dalam asuhan bumi lalu mendewasakan diri dalam klise kehidupan. Jika kelak ia masih bisa bertahan, ia akan berdiri tegak di bawah terik gumpalan helium serta melambaikan hijau riangnya sebagai ungkapan rasa syukur dan cinta pada buminya. Akan tetapi, tak ada yang tahu seberapa hebat bumi bisa mengokohkan akar pohonnya dan seberapa tegar bumi melahirkan tunas-tunas kehidupan lainnya. Hanya Sang Guru saja yang mampu
            Pagi tampak romantis. Visualisasi dan melodi yang sempurna dari Sang Esa. Langit tak lagi sesumbar. Birunya kini menjadikan indah bayang-bayang hari. Iring-iringan kicauan belasan burung liar seakan menggoda puluhan telinga yang lalu-lalang. Gerakan kemayu dari lambaian gerombolan merah jingga mahkota flamboyan membuatku terbelalak kagum. Cemerlang flamboyan tersaji di setiap tepian jalan. Merekah dan memesona jiwa.
            Seperti biasa, aku menyusuri jalanan berdebu tatkala pagi mulai menggeliat halus. Kerudung putihku berkibar lembut seiring langkah tegapku. Tas jinjing buluk warna hitamku berayun riang dalam genggaman. Orang-orang tak lupa bertegur sapa sebagai tanda ikatan persaudaraan. Seperti biasa, aku yakin hari ini pasti akan menjadi hari terbaik dari sekian banyak hari terbaik yang selalu aku jalani.
            Namun ada masa ketika romansa ceria itu hilang
            Tercoreng oleh nama ketimpangan
            Yang harusnya sayang berulah
            Cuma bisa jadi kepahitan
            “Kamu tidak usah macam-macam! Ini demi kita!” teriak seorang ibu kepada anaknya. Suaranya begitu lantang sehingga dari jarak satu meter aku bisa mendengarnya dengan jelas tanpa penghalang.
            Aku berhenti sejenak untuk mengamati diorama menyedihkan itu. Seorang ibu muda berpakaian lusuh menarik tangan anak laki-lakinya dengan kasar. Anak itu hanya terdiam sambil memeluk gitar kecilnya. Langkahnya tersendat-sendat dan wajahnya muram seolah-olah tak ingin menuruti paksaan ibunya.
            “Cepat! Kau tak ingin kelaparan lagi, kan?” ancam ibu muda itu sembari mengencangkan kepalan tangannya.
            Ibu dan anak itu berpas-pasan denganku. Aku berusaha keras menatap anak itu, namun aku tak bisa menatap jelas wajahnya. Ia hanya merunduk dan merunduk. Terhuyung sejalan geretan takdir yang membesarkannya.
            Jika tunas itu tergilas roda-roda dunia, masihkah ia hidup?
            Peristiwa memilukan yang baru saja aku saksikan telah memberikan satu pukulan telak dalam dadaku. Nafas terasa sesak setiap kali mencoba mengingat setiap detail film pendek itu. Teriakan. Sedih. Paksaan. Anak kecil. Gitar mungil. Kemiskinan. Argh…. Masihkah ada yang lebih tega membuatku mati bergetar selain menyaksikan seorang ibu mengambinghitamkan anaknya untuk secuil harapan?

Rabu, 11 Juli 2012

Membuka Rahmat Allah #2

Si Mbak


Aku sudah mantap.
"Assalamu'alaikum..."salamku ramah.
Perasaan itu mengalir begitu saja. Ragu yang tadi ada kini mencair entah kemana. Semua terasa melegakan.
"Mbak...aku minta maaf atas kesalahanku dulu," kataku sambil mengulurkan tangan.
Ia mengulurkan tangan menyambut uluran tanganku, dan kami tak jua melepaskan genggaman ini.
"Aku yang seharusnya minta maaf,"ucapnya.
"Tidak,Mbak. Aku yang seharusnya minta maaf karena aku telah melakukan kesalahan padamu,"sahutku begitu lancar tanpa ada sedikitpun keraguan.
Hening sejenak,namun aku tak kuat untuk mengucapkan isi hatiku.
"Aku sekarang sadar setelah merenung, kenapa aku tidak konfirmasi dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Semua itu seperti keputusan sepihak."
Aku
"Aku juga salah. Aku sadar aku lemah untuk mengendalikan emosiku. Aku terlalu kasar padamu saat itu. Aku yang seharusnya minta maaf padamu dulu, tapi aku malu untuk memulai."
Kami berpandangan dan saling tersenyum :) .
"Aku malu padamu. Aku pengecut. Aku tidak marah padamu,tapi aku menyesali ketidakberanianku."
"Bagiku kamu pemberani,Mbak. Kamu mau merenungi peristiwa itu dan menyadari apa yang menjadi kekuranganmu sudah cukup bagiku."
>_<
Dan kenyataannya kami memiliki satu kesamaan: sudah tak ada amarah sejak lama namun malu untuk menyapa meskipun hati sudah biasa saja.
(End)

Senin, 09 Juli 2012

Membuka Rahmat Allah #1

Sosok itu berkerudung ungu


Aku yang dulu pengecut
Malam itu aku putuskan menebus dosa-dosaku yang telah silam. Kulangkahkan kaki ragu. Hanya bisa berdiri di lorong gelap sambil memandang ke depan. Apakah ini keputusan yang tepat? Lama. Perlu pertimbangan-pertimbangan sensitif pikirku. Argh! Ini tak akan selesai sampai kapan pun jika aku terus-terusan MALU. Kuhampiri pintu kamar wisma nomor satu itu. Terbuka. Sosok yang kucari sedang membelakangiku dan sibuk dengan note booknya. Diterangi lampu kamar yang benderang, ia tampak jelas. Aku sudah membulatkan tekat. Tak ada lari untuk kedua kali. Sesungguhnya tak ada yang tahu esok akankah masih ada kesempatan untukku atau tidak...

(tunggu kisah selanjutnya ^^v)

AJARI AKU BERMIMPI

Kota Lama Memoir


Mungkin saya merupakan salah satu dari sekian orang yang kurang beruntung dalam menikmati cita-cita yang aku inginkan. Kesempatan mungkin ada, namun percaya diriku yang membuatku terkekang. Bukan terkekang oleh keadaan, tapi terkekang dengan diriku sendiri. Tak ada visi sama sekali di lintasan pikiranku, namun hanya ada hasrat/keinginan saja yang mendorongku terus menerus.
Aku iri dengan kalian yang bisa melakukan apapun yang kalian mau. Mimpi itu bukan hal baru di benak kalian. AJARI AKU BERMIMPI dan MEREALISASIKANNYA. AJARI AKU BERSEMANGAT dan MEMBERI SEMANGAT ORANG LAIN.

(aku pencari mimpi)

Sabtu, 19 Mei 2012

Sakit itu Jalan Terbaik

ada ataupun ketiadaan perasaan ini tidak akan membawamu ke dalam langkah yang padu. tergontai aku dalam kegamangan. dulu aku yang tersudut antara mata hati dan nafsu, kini aku tersudut dalam belang yang amat tajam. baumu akan semakin lekat bahkan mampu melumat habis kata seiring tetesan liurmu.
kehidupan masih trlalu lebar tuk kupandang, hatiku masih terlalu ciut tuk kupegang. hebatnya Ia ciptakan aku tuk jadi pembelajaran bagi yang lain. hebatnya Ia ciptakan yang lain tuk jadikan pembelajaranku.
Ia Maha Tahu, bukankah itu yang kau katakan padaku?

(sakit)

Kamis, 03 Mei 2012

Sepenggal Perjalanan Bersama Bunda 1

Langit pekat senyap. Bulan merah jambu. Kutuntun tanganku mengetikkan sebait catatan kecil untuk Bunda yang telah berpulang. Diiringi lagu sendu aku sedikit demi sedikit membuka kembali lembaran usang masa silam, saat Bunda masih bersamaku.

Masa lampau jauh dari angan, Bunda menggenggam tanganku dengan erat. Ia menanyaiku warna baju, nama hari, nama bulan, huruf, angka, bahkan bernyanyi. Aku masih kecil, sangat kecil. Akan tetapi, aku mampu mengerti bahwa Bunda berharap banyak padaku.

Hari ini hari pertamaku tes masuk SD. Aku tahu jika hari ini aku gagal, maka aku akan gagal selamanya. Bunda akan bersedih, aku akan menyesal selamanya. Dalam hati aku sempat khawatir, namun pilihan berhasil selalu ada.

Kutatap raut wajah Bu Guru setengah baya di hadapanku. Teduh dan mungil. Bu Siti namanya. Aku berdiri tanpa rasa takut sekalipun. Akan tetapi, aku tetap berlagak pemalu.

"Nama kamu siapa,Nak?" tanya Bu Siti.

"Arum Puspita Cahyati," aku menjawab sebagai tanda awal perkenalan ini.

Ibu guru menanyaiku pertanyaan demi pertanyaan dan bagiku ini sangat mudah.

Secuil memori itu adalah sepenggal perjalananku yang sempat membuat Bunda tersenyum bangga karena aku berhasil masuk di sekolah yang Bunda minta.

Bunda,tak usah kau khawatirkan aku di sini. Aku akan selalu berusaha beri kau yang terbaik. Kelak akan kuhadiahkan kau bunga terindah dari bibit terbaik yang slama ini kutanam. Tenanglah dalam istirahatmu. Kudoakan agar kau mendapat ketenangan dan tempat yang indah di sana.

Minggu, 22 April 2012

Tangerang Kelabu

Sosok itu sudah menunggu di sana. Hanya berbekal alamat rumahnya saja, aku tekadkan bulat meluncur ke kotanya. Kota kecil dengan beribu intrik di dalamnya.
Ayah, kulangkahkan kaki hanya untuk menyambung tali batin kita lagi. Aku ingin melihat senyum tegarmu yang dulu sering kau tampakkan ketika kau ungkapkan harapanmu padaku. Aku ingin kau menyapu rambutku seperti dulu kau masih menganggapku seperti anak kecil. Aku ingin mendengar nasihatmu seperti dulu kau sering menasihatiku saat aku lalai.
Ayah, berjuta asa kau tangguhkan padaku. Aku ingin semua bisa kuwujudkan dalam iringan setiap doa dan usahamu mendidikku. Meskipun aku bukan yang terbaik, namun aku akan selalu berjuang menjadi yang tebaik.
Sosok itu sudah menungguku di ujung jalan. Menyambutku dengan senyuman, terasa pahit ketika aku dihadapkan dengan kenyataan.

Jumat, 02 Maret 2012

Memori Jadoel

Catatan Mantan Smanda

            Mata ini jemu melihat guru kimia yang dari tadi ngomong tanpa henti. Alkena lah… alkuna lah… rantai ini kek… rantai itu kek… kenapa gak sekalian aja aku dirantai terus dimasukkin ke kamar mandi! My God, please keluarin aku dari kungkungan tambahan pelajaran yang menjemukan ini.
            “Rhea….” bisik Suny yang duduk tepat di belakangku.
            Aku menoleh. Dasar Suny emang agak sinting. Dia hanya nyengir gak penting sambil mamerin sebuah pamphlet warna biru muda.
            “Apa?” tanyaku jutek gak ketulungan.
            “Ikutan ini yuh…”
            “Ah… diem! Emak lagi ngoceh, ntar kita disamperin lagi.”
            “Tolong perhatikan!” bentak Bu Mia.
            Aku otomatis langsung membenarkan posisi dudukku dan memasang muka tak bersalah. Aduh, mati aku! Kenapa pula Bu Mia mendekat padaku sambil melotot.
            “Rhea, tolong bangunin teman sebelahmu,”
            “Hm… baik,”
            Ampun dah. Pantes aja nona alchemo satu ni marah-marah. Scara,ternyata temen sebelahku tidur. Tidurnya sambil ngiler pula.
            “Sis… bangun,” kataku sambil nyikut Siska. Capek... satu sampai tiga sikutan tidak ada respon. Alhasil aku cubit lengannya biar melek sekalian.
            “Waduh…………..” teriak Siska kaget.
            Teman-teman satu kelas tertawa terbahak-bahak. Saking kerasnya, kelas seakan mau roboh.
            “Baiklah, saya lanjutkan pelajaran,” lanjut Bu Mia.
©©
            Hidih.. kenapa hari ini gak ada yang normal. Mulai dari guru sampai soib-soibku pun justru bikin keki sendiri. Aku heran deh! Padahal mereka uda tahu kalo aku itu gak suka diganggu pas pelajaran.
            “Sis, kamu ntu bikin malu aja! Bisa-bisanya tidur di kelas. Kamu kan udah tahu kalo Bu Mia galak,” ocehku setelah pelajaran kimia usai.
            “Yah… lu kan tahu gua gampang bosen. Apalagi siang-siang gini. Ngantuk!” balas Siska sambil menguap.
            “Idih… Siskong ngiler,” sahut Suny.
            “Eh… kamu juga gak pengertian sama sekali. Aku kan pingen konsen pelajaran,”
            “Ampun… Rhea. Aku cuma mau ngajakin kamu dan Siskong buat ikutan lomba mading yang diadain Universitas X,”
            “Coba gua lihat pamphletnya,” tukas Siska, “ngapain sih lu?! Cemberut aje. Cepet tua baru tahu rasa.”
            “Iya nih. Rhea Si Ratu Matahari,” tambah Suny yang mulai ikut-ikutan menghinaku.
            Aku diam saja. Bagiku ejekan dari dua temanku bukan hal baru lagi. Aku juga sudah tahu dari dulu filosofi matahari yang mereka berikan padaku. Bagi mereka, aku ini orang yang gampang panas.
            “Oke. Gua terima ajakan ikut lomba mading ini,”
            Seketika empat bola mata menatapku ngeri. Penuh tanda tanya dan memelas.
            “Kalo kalian masang muka kucing kayag gitu, aku gak bisa nolak lah,”
            “Aih… baik bener my sista. Muah…. Muah…” cletuk Suny sambil meluk-meluk pamphlet kayak orang sakit jiwa.
            “Gals, kita mau bikin mading yang wujudnya gimana nih?” tanya Siska sok pede.
            “Yang biasa-biasa ajalah…”
            “Eh…gak bisa gitu Rhea imut. Scara kita itu jadi orang gak boleh biasa-biasa aja. Betul kan,Sis?”
            “Yupp. Gua gak suka ma pendapat lu yang ntu tadi, Gan,”
            “Oke. Mau kalian yang kayak gmana?”
            Kami pun berunding mulai dari tema, rubric, dan tampilan mading. Aku rasa perundingan ini seru banget. Saking serunya, gak krasa udah tiga jam kami lewati hanya untuk berdiskusi saja.
            “Oke, keputusan kita kali ini… Tataaaaaaaaaaaaaa… kita akan pake kardus bekas yang nantinya bakal jadi media tempel. Ntar kardus-kardus ntu kita susun seabstrak mungkin biar menimbulkan nuansa unik, antic, dan eksotis,”
            Seusai aku bacain kesimpulan, kami tos sebagai wujud bahagia atas kekompakan ini.
©©
            Hari demi hari kami manfaatkan sebaik mungkin untuk membuat konten dan desain mading. Aku rasa ini gila banget. Ke sana kemari mencari kardus bekas. Clemongan gara-gara crayon dimana-mana. Bukan cuma tanganku aja yang clemongan, tapi hatiku juga. Hahahaha (lebay dot com).
            “Mbak yu cantik… Cah ayu hm… besok ada Techmet lomba mading di Fakultas Y Universitas X. Don’t forget lo ya,” canda Suny pake gaya Ayu Dewi yang super alay.
            “Sip dah, mamen… tapi, lu besok bisa ikut kan, Rhe?”
            “Insyaallah dah,”
©©
            Ketika di Fakultas Y Universitas X, kami sempat sebel. Bisa-bisanya acara Techmet sekaliber mahasiswa pake molor-moloran sgala. Malu gak sih.
            Di sini kami registrasi dan mendengarkan sistem serta tata tertib perlombaan. OK! Lumayan buat bekal pas lomba lah. Hm… yang aneh aku apa otakku ya? Dari tadi panitia ngomong panjang lebar, tapi hanya satu info aja yang bisa nempel di otakku: artikel-artikel mading harus dibuat on the spot pake tulisan tangan.
©©
            Hari H yang dinantikan tiba. Panitia cuma ngasih waktu lima jam buat nyelesain mading. Setiap peserta kerja cepat dan gesit laksana maling dikejar mertua (????). Well. Akhir yang bahagia. Kami bisa selesai juga dalam waktu lima jam. Pokokonya mading kami yang paling aneh bentuknya, paling gedhe dan nyentrik abis.
            Juri mulai menilai. Gak mau ketinggalan, kami pun ikut-ikutak sok menilai.
            “Wah… gak bener ni peserta nomer 5,” kataku histeris.
            “Why?” tanya Siska.
            “Artikelnya diketik, padahal kan gak boleh,”
            “Yaudah lah… biar juri aja yang nilai,”
            Kami lanjutkan lagi berkeliling dan tak lupa mampir di bazaar buku dekat spot kami. Rasanya optimis menang nih. Bentar lagi pengumuman pemenang dibacain.
            Dag… dig… dug… panitia mulai ngecipris di depan. Dibacakanlah satu per satu pemenang tiap-tiap lomba. Dan eng…ing…eng… kami gak menang sama sekali. Parahnya lagi, yang jadi juara tiga itu justru yang artikelnya diketik. Jujur aja aku gak terima. Alhasil aku mengadu ke panitia lomba dan meminta keadilan. Gak sportif banget ini namanya.
            “Ini mading kelompok mbak?” tanya seorang pengunjung.
            “Iya,” jawabku setengah panas.
            “Jadi juara berapa,mbak?”
            Tiba-tiba hatiku bertambah panas mendengar pertanyaan itu. “Kami tidak menang,”
            “Kok bisa? Padahal bagus lo,”
            Siska tak kuasa membendung tangisnya. Akhirnya kami berdua menangis. Meskipun panitia sudah meminta maaf dan menaikkan kami jadi juara tiga B (juara tiga A adalah peserta nomor lima yang artikelnya diketik), tapi bagiku mereka tetaplah gak professional.
©©
            Cerita ini bukan untuk menghina pihak mana pun. Sekadar dijadikan refleksi aja buat kita. Kelak kalo kita jadi panitia lomba tau acara sekolah, profesionallah dan yang terpenting “manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan”.
Happy nice day,friends J

diadopsi dari kisah nyata dengan banyak perubahan crita

Selasa, 28 Februari 2012

Perasaanku yang Tertuang

Kupanggil Dia Robbi


Kembang-kembang itu mulai menguncup kembali
Senja-senja tadi memburai bertambah kelam
“Sendirian,Mbak?” tanya seorang ibu yang berpas-pasan denganku di persimpangan jalan.
Aku yang kemarin tersungkur perih
Mulai lupa apa-apa
Namun kini aku tersungkur lebih payah
“Kok nglamun,Mbak? Ora elok.”
Aku hanya tersenyum pada sosok layu di hadapanku, Bu Darsi, yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Matanya yang sendu tepat menatap kedua mataku yang mungkin sekarang tampak kosong dan tanpa harapan. Guratan-guratan keriput di wajahnya tampak jelas seperti menantang semangat muda siapa saja.
Kepalaku menengok sekeliling. Jalanan tampak lengang dan kini kusadar hanya ada aku dan orang tua itu. Dia membalas senyumku. Tampaknya udara kering di luar tak menjadikan hatinya kering pula.
“Kalau jalan hati-hati,Mbak. Jangan sampai hampir nabrak orang lewat lagi.”
Aku tertegun mendengar saran kuli bangunan anggun itu. Mataku mulai menyusuri urat-urat tangannya yang menonjol kehijau-hijauan. Rok coklatnya yang kusut meliuk pelan disambut angin sore. Akhirnya pandanganku beradu dengan jarak kedua kakiku dengan ibu yang baru saja ditinggal mati anak laki-lakinya itu. Tak ada sejengkal rupanya.
Kusipitkan mata dan tanpa rasa menyesal aku menatap Bu Darsi sekali lagi.
“Maaf.”
Tubuhku bergerak sedikit demi sedikit dan lewat begitu saja di samping raga yang tetap terdiam. Kupaksa kaki terus berjalan sampai akhirnya kupalingkan pandanganku ke belakang dan aku tak dapat melihat sosok perkasa tadi.
Alas kakiku menyusuri jalanan berbatu. Berkali-kali langkah cepatku menimbulkan debu-bebu berterbangan di sekitar kakiku dan di sekeliling  jejak sejarah yang kutinggal di belakang. Pasir-pasir kering dan kerikil-kerikil nakal sedikit demi sedikit masuk ke dalam sepatuku yang longgar dan sekali lagi aku tak peduli.
Orang-orang berlalu-lalang seakan-akan mereka saja yang memiliki masalah. Begitu pula aku. Seperti biasa, aku tak ingin angkat bicara jika sedang dilanda tumpukan kotoran masalah. Air mata serasa ingin mengucur sederas-derasnya, tapi terpaksa kutahan. Pundakku serasa ingin mengistirahatkan diri, tapi terpaksa kutegakkan setegak-tegaknya. Dunia serasa ingin kutelan agar tak melukai siapa pun, tapi mulutku tak cukup lebar tuk berkata apa-apa.
Hari belum terlalu sore. Namun, matahari terlihat malu-malu menunjukkan kejantanannya di antara mega mendung yang mulai berarak dari arah barat. Sekali… dua kali angin bermain-main dengan kerudung merah marunku. Tak jera-jeranya mereka hampir mengangkat pelindung mahkota kepalaku.
Terhenti langkahku di pinggiran jalan raya Majapahit. Kuacungkan jempol kananku ke depan. Seketika angkutan umum warna jingga berhenti tepat di depanku. Tak ada penumpang satu pun. Bapak supir tersenyum padaku dengan raut ramah yang ia bisa usahakan di balik kelelahannya mengejar setoran. Kaki kananku naik dulu di atas mobil reyot berplat H itu. Kursi-kursinya sudah ada yang rusak, kulit pelindungnya sudah ada yang robek dan busa-busa hijau berjejalan keluar dari lubang sebesar biji salak itu.
Si roda empat membawaku berkendara sampai Milo. Aku berganti angkutan umum jurusan Banyumanik. Tak susah mencarinya di sini. Kau tak akan kehilangan barisan orange bersupir itu dalam satu kedipan.
Aku masuk angkutan yang ada di barisan paling belakang. Rupanya sudah ada dua penumpang yang menunggu. Satu bapak berwajah polos agak tirus dan seorang anak laki gemuk bermata bulat bening.
Kupandangi bapak itu. Mulai dari rambutnya yang agak beruban, matanya yang memandang lurus ke depan, kedua tangannya yang dikepal menjadi satu tampak mengapit sebuah kantong plastik hitam kecil lusuh, sampai mataku tertuju pada kedua kakinya yang diketuk-ketuk bergantian seperti ada irama syahdu tak terdengar mengiringnya.
Aku ingin berlaku adil. Maka sekarang aku melirik anak laki gemuk yang duduk di depanku. Ia biasa saja dan tampak santai dengan kaos oblong dan celana kolornya. Namun tingkahnya menimbulkan pertanyaan. Mata bulatnya dari tadi berkeliling seperti mencari anak kambing yang hilang, belum lagi ditambah raut mukanya cemas seakan-akan ia sedang diintai dari jauh. Aku bertambah kaget ketika ia tiba-tiba tertawa sendiri sesaat setelah melirik  jendela di belakangku. Kejadian itu terasa ganjil setelah sekian detik ia bercemas diri seperti anak hilang. Entah ada apa di luar sana. Mungkin ada sesuatu yang lucu baginya. Atau mungkin anak kambingnya sudah ketemu?
Tak henti-hentinya aku mengamati anak berkaos garis-garis sedikit robek di bagian kerah itu. Ia lagi-lagi mengamati keadaan di luar jendela yang ada di belakangku. Kadang-kadang terkikik geli, kadang-kadang menyembunyikan wajahnya dengan tangan. Aku mulai tergelitik untuk menoleh ke belakang dan mencari tahu apa yang sedang ia tertawakan dan ia takutkan. Hm… tidak ada apa-apa rupanya. Sejauh mataku memandang, hanya ada segerombolan supir dan pedagang yang sibuk berbincang. Lalu apa yang ada dalam pikirannya sekarang?
“Sedang tertawa dengan siapa?” tanyaku seramah mungkin.
Sepertinya pertanyaanku menimbulkan reaksi luar biasa, nyatanya bapak pendiam yang duduk di samping anak aneh itu tiba-tiba memandangku lalu memandang anak yang duduk di sebelahnya.
Ia hanya terkikik geli merespon pertanyaanku, “Hihihihi…”
Anak itu benar-benar sakit jiwa tampaknya.
“Kamu sendirian?” tanyaku sekali lagi. Aku tak akan berhenti bertanya sebelum dia mau angkat bicara.
Sejenak tak ada jawaban. Si bapak yang semula antusias sekarang kembali terdiam dan melamun.
“Iya. Aku sendiri,” jawab anak itu dengan suara seraknya yang khas.
Aku tersenyum simpul dan tak henti-hentinya mengamati anak itu dengan tatapan mengiba.
“Kamu mau pergi kemana,Adik Kecil?”
“Pulang.”
“Sendirian? Kamu tidak takut?”
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu mengetuk-ngetukkan kepalanya ke jendela di belakangnya.
“Mbak, aku minta uangnya.”
Aku tersentak dan berganti pandangan menjadi sinis.
“Minta uang untuk apa?”
Nada suaraku sekarang agak keras dan otakku diliputi pikiran-pikiran negatif.
“Buat pulang. Aku tidak punya uang.”
“Nanti angkotnya aku bayarin aja, ya,” kataku sambil tersenyum sok ramah.
Anak itu kembali tertawa dan berlagak aneh. Tak sadarkah ia bahwa tingkahnya membuatku bertanya siapakah dia sebenarnya.
Angkutan umum yang dari tadi kunaiki mulai memutar rodanya. Pak supir melambaikan tangannya dan dibalas lambaian tangan pula oleh kawannya di luar sana.
“Mbak, apakah kamu masih punya uang jika kamu memberiku uang?”
Aku mennganggukkan kepala.
“Terima kasih, Mbak.”
Suasana hening sejenak. Anak itu bernyanyi sendiri sambil (lagi-lagi) tertawa sendiri.
“Kamu sekolah?”
“Iya,Mbak.”
“Cita-citamu apa?”
“Aku harap, suatu saat nanti aku bisa jadi polisi. Akan aku tangkap para penjahat dan akan aku lindungi orang-orang yang tidak bersalah.”
Aku tertawa senang mendengar penjelasan singkatnya. Ia tak seburuk yang aku bayangkan. Ups… aku pikir ia akan berhenti bicara. Ia justru terus bercerita tentang keinginannya menjadi polisi yang baik.
Aku merasa perih memandang anak itu. Matanya seperti menyimpan kepedihan dan ketegaran kala ia bercerita. Namun aku menyukainya, sebab senyumannya lepas dan seperti tanpa beban.
“Mbak, akan kutunjukkan kamu sesuatu.” Katanya sambil berbisik
Ia melirik bapak yang ada di sampingnya lalu perlahan-lahan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Tampaknya sebuah amplop putih yang bertuliskan
                             Mohon kasihani kami untuk makan sehari-hari.
                             Kami anak yatim piatu.
                                                                             Terima kasih
Ia tak henti-hentinya membuatku terkejut. Aku sadar bahwa amplop yang baru saja ia tunjukkan adalah amplop yang biasanya para pengemis cilik sodorkan kepada para penumpang bus. Aku tak yakin seratus persen apakah anak ini adalah seorang pengemis. Akan tetapi, apa maksudnya menunjukkan amplop itu padaku?
Aku memandangi anak itu. Ia tersenyum ramah padaku. Namun aku masih saja ternganga tak percaya.
“Siapa namamu, Dik?”
“Robbi.”
Jawaban singkat itu dibarengi diinjaknya rem angkutan umum. Pertama bapak tua itu turun dari angkutan umum kemudian disusul Robbi.
“Tunggu,Robbi. Ini janjiku padamu.”
Ku sodorkan rupiah sejumlah dua ribu pada anak hitam itu sebelum ia benar-benar meninggalkan angkutan umum.
Ia mengambil uang yang telah kuberikan tadi sambil berkata, “terima kasih. Kamu baik sekali. Sebenarnya… sudah ada yang membayariku.”
Ia berjalan setengah berlari di belakang bapak tua itu. Tak henti-hentinya aku menatap kepergiannya. Kulihat ia menatapku dengan raut muka yang mengisyaratkan ‘tolong bawa aku lari’.
Angkutan umum terus melaju. Peristiwa tadi serasa memberi pukulan telak padaku. Robbi yang tak seberuntung aku masih bisa tersenyum, sedangkan aku seperti tak mensyukuri keadaanku sekarang ini.
Sedikit teguran di kala hari sunyi
Membangunkanku tuk kembali

By: Arci Plan